Strategi dan Perencanaan Pengembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

  A.       Strategi Pengembangan Keagamaan Pada PAUD 1.        Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah SWT Diantara cara membimbing anak menuju akidah yang benar adalah dengan mendidik mereka untuk mencintai Allah. Pendidikan ini harus diberikan sejak   ini. Pada saat tersebut, mulailah mereka diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) yang terdekat disekitar mereka.   Selain itu, juga perlu diupayakan adanya keterikatan antara mereka dengan yang   telah menciptakannya, pemilik keagungan, pemberi nikmat, dan maha dermawan.   Dengan bentuk seperti ini anak pasti akan mencintai Allah (Rajih, 2008: 87-88) Rasa cinta kepada Allah beserta seluruh ciptaannya dapat diperkenalkan pada anak usia dini melalui pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik tersebut akan mengenalkan akan pada makhluk ciptaan Allah sekaligus mengenalkan anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dengan proses mengamati. Menciptakan rasa cinta kepada Allah juga diikuti oleh men

DAULAH ABASYYIAH (AL MA"MUN & HARUN AL RASYID)


B. Khalifah Al-Ma’mun
Setelah wafatnya Harun Al-Rasyid, keluarga dari Bani Abbas melanjutkan kekhalifahannya, yaitu Al-Ma’mun (813-833). Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai sejarah peadaban pada masa Al-Ma’mun. Ada lebih baiknya kita mengenal biografi Al-Ma’mun.
Nama lengkap khalifah ini adalah Abdullah Abbas Al-Ma’mun. Abdullah Al-Ma’mun dilahirkan pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 170 H/ 786 M. Bertepatan dengan wafat kakeknya Musa Al-Hadi dan naik tahta ayahnya, Harun Al-Rasyid. Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius, sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca Al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi.
Al-Ma’mun beribukan seorang bekas hamba sahaya bernama Marajil. Selain belajar Al-Qur’an, ia juga belajar Hadits dari Imam Malik di Madinah. Kitab yang digunakan adalah karya Imam Malik sendiri, yaitu kitab Al-muwatha. Disamping ilmu-ilmu itu, ia juga pandai Ilmu sastra, belajar Ilmu tata Negara, hukum filsafat, astronomi, dan lain sebagainya. Sehingga ia dikenal sebagai pemuda yang pandai. Setelah berhasil mengatasi berbagai konflik internal, terutama dengan saudaranya bernama Al-Amin, akhirnya Al-Ma’mun menggapai cita-citanya menjadi khalifah pada tahun 198 H/ 813 H
Al-Ma’mun adalah Seorang Khalifah termasyhur sepanjang sejarah dinasti Bani Abbasiyah. Selain seorang pejuang pemberani, juga seorang penguasa yang bijaksana. Pemerintahannya menandai kemajuan yang sangat hebat dalam sejarah Islam. Selama kurang lebih 21 tahun masa kepemimpinannya mampu meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga. Kemajuan itu meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan, seperi matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat.
Pada kekhalifahan Al-Makmun sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Hal yang paling menonjol dalam bidang pendidikan pada masa Al-Makmun adalah menterjemahkan kitab yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, karena beliau sangat mendukung gerakan penerjemah tersebut dan beliau juga menggaji mahal golongan penerjemah dengan setara bobot emas supaya keinginan beliau tercapai yaitu mengembangkan Ilmu Pengetahuan  sebagai super power  dunia ketika itu.[1]
Tim penerjemah yang dibentuk Al-Ma’mun terdiri dari Hunain ibnu Ishaq sendiri dan dibantu anak dan keponakannya, Hubaish, serta ilmua lain seperti Qusta ibnu Luqa, seorang beragama Kristen Jacobite, Abu Bisr Matta ibnu Yunus, seorang Kristen Nestorian, Ibnu ‘Adi, Yahya ibnu Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran, bidang astrologi, dan kimia.[2]
Khalifah Al-Makmun yang berbasis pangikut di Persia mengalami kemajuan di berbagai bidang, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Ketika Al-Makmun memerintah timbul masalah agama yang pelik, yakni faham apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan.[3]
Sejak Al-Hadi (paman Al-Ma’mun) wafat ketika awal pemerintahan Al-Ma’mun muncul ilmu Falsafi (Al-Qur’an) dan munculnya ilmu kedokeran. Ia mewajibkan kepada para ulama menghapal Al-Qur’an. Munculnya pemahaman Al-Qur’an ini makhluk dikemukakan Al-Mu’tasyim (saudara Al-Ma’mun).[4]
a.      Sejarah Pemerintahan Abdullah Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833H)
Sejarah pemerintahan Al-Ma’mun dapat kita lihat dari usaha-usaha yang dilakukan pada masa ia memerintah. Adapun usaha-usaha yang dilakukan khalifah Al-Ma’un dalam pemerintahannya baik dilihat dari politik, sosial, agama,  keilmuan dan lain sebagainya dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Mengatasi Gerakan Pemberontak
Al-Ma’mun menduduki jabatan khalifah pada tahun198 H/ 813 M. Yakni setelah berhasil memenangkan pertempuran dalam perang saudara dengan Al-Amin. Namun ia tidak mau menetap dikota Bagdad menjalankan pemerintahan, karena ia lebih tertarik melakukan studi dimerv. Untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Fadl bin sahal.
2.      Penertiban Administrasi Negara
Dalam sejarah ia dikenal sebagai administrator yang pandai dalam mengatur roda pemerintahan, sehingga dalam masa pemerintahan dinasti Abbasiyah sangat tertib dan berjalan baik. Hal ini terjadi selain Karena situasi politik mulai stabil, dan tidak banyak pemberontakan, juga karena Al-Ma’mun merupakan salah seorang khalifah yang memiliki pengetahuan luas dan keterampilan didalam mengatur Negara sehingga Negara menjadi makmur dan stabil.
3.      Penataan Ulang Sistem Pemerintahan
Usaha lain yang dilakukan Al-Ma’mun adalah melakukan penataan ulang tentang sistem pemerintahan yang pernah mengalami kemunduran pada masa pemerintahan kakaknya Al-Amin. Penataan sistem pemerintahan ini menjadi suatu yang sangat penting untuk segera dilakukan. Karena sistem yang sebenarnya telah mapan, yakni ketika ayahnya Harun Arrasyid memerintah, Dan dilanjutkan oleh kakaknya Al-Amin yang mengalami masa berhenti dan tidak berjalannya sistem secara maksimal.
Melihat begitu pentingnya penataan itu, maka Al-Ma’mun mengangkat Ahmad bin Khalik sebagai kepala rumah tangga istana, dan mengangkat pejabat Negara yang  memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan Negara.
4.      Pembentukan Badan Intelijen
Khalifah Al-Ma’un membentuk badan-badan intelejen, baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan pengkontrolan dan memberikan informasi terhadap kerja dan tugas-tugas  para pejabat yang diangkat terutama wilayah jajahannya, yakni Biyzantium. Semua ini akan dijadikan bahan pembuatan  kebijakan pemerintahannya.
5.      Pembentukan Badan Negara
Kebijakan lain yang dikeluarkan Al-Ma’mun adalah pembentukan badan Negara yang anggotanya terdiri dari wakil semua golongan masyarakat. Tidak ada perbedaan kelas ataupun agama. Dewan ini bertugas melayani masyarakat. Para wakil rakyat mendapat kebebasan penuh didalam mengemukakan pendapat dan bebas berdiskusi didepan Khalifah.
6.      Toleransi Beragama
Yakni kebebasan beragama. Masyarakat non muslim yang berada dibawah kekuasaannya dilindungi dan diberikan haknya sebagai warga Negara. Bahkan sejumlah non muslim menduduki jabatan penting di pemerintahan. Seperti Gabriel bin Bakhisthu, seorang sarjana Kristen yang memegang posisi penting dikekhalifahannya.
7.      Pembentukan Baitul Hikamah dan Majlis Munadzarah
Baitul Hikmah yang didirikan tidak hanya berfungi sebagai pusat riset, juga perpustakaan dan tempat melakukan berbagai kegiatan ilmiah lainnya. Untuk menghindari terjadinya perselisihan antara sesama umat Islam, Majlis Munadzarah yang berfungsi sebagai tempat mendiskusikan berbagai persoalan agama yang dianggap sukar untuk dipecahkan. Kaum intelektual dari berbagai daerah dikumpulkan dilembaga ini. Mereka diminta melakukan kajian dan berbagai riset ilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Pada masa pemerintahannya Munncul ilmu Hadits ternama Yakni Imam Bukhari, dan sejarawan terkenal yakni Al-Waaqidi.
b.      Konsep Dasar Pendidikan Islam Pada Masa Al-Ma’mun
Pada masa khalifah ke-7 yaitu Al-Ma’mun ada dua konsep dasar pendidikan, yaitu multikultural dan institusi.
1.      Konsep Dasar Pendidikan Multikultural
Menurut pakar pendidikan, Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai “pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demokrafi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan menurut Hariansyah, ditinjau dari sudut psikologi bahwa pendidikan multikultural memandang manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Bahwa manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas (jama’), heterogenitas (keanekaragaman), dan keberagaman manusia itu sendiri. Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, pola pikir, kebutuhan, keinginan dan tingkat intelektual.[5]
2.      Konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam
Institusi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun, termasuk kategori lembaga pendidikan Islam yang klasik. George Maksidi membagi institusi pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam, menjadi dua tipe, yaitu: institusi pendidikan inkluisif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan intuisi pendidikan eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum.[6]
Berdasarkan penggolongan George Maksidi, Institusi Pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Ø Maktab/kuttab adalah Institusi dasar, maka yang diajarkan di maktab/kuttab adalah khat, kaligrafi, Al-Qur’an, akidah, dan syair.
Ø Halaqah artinya lingkaran (murid-murid yang melingkari gurunya yang duduk di atas lantai). Halaqah merupakan intuisi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan.
Ø Majelis adalah Institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai desiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Ada 7 macam majelis, yaitu: majelis Al-Hadits, Al-Tadris, Al-Munazharah, Al-Muzakarah, Al-Syu’ara, Al-Adab, Al-Fatwa.
Ø Masjid merupakan Institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Ø Khat berfungsi sebagai asrama pelajar dan tempat penyelenggaraan pengajaran agama satu diantaranya fiqh
Ø Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari kehidupan diniawi untuk mengonsentrasikan diri beribadah semata.
Ø Rumah-rumah ulama digunakan untuk melakukan tranmisi ilmu agama, ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah.
Ø  Took buku dan perpustakaan berperan sebagai tempat tranmisi ilmu dan Islam.
Ø Observatorium dan rumah sakit sebagai konsep Dasar Pendidikan Multikultural di Institusi Pendidikan Islam.[7]


[1] Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 142
[2] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Lesfi Yogyakarta, 2003), hal. 125
[3] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 96
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Presada Media, 2007), hal. 85
[5] Suwitno & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Persada Media, 2005), hal. 26
[6] Ibid., hal. 27
[7] Ibid., hal. 27-28

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ORGANISASI PENDIDIKAN : JENIS DAN STRATEGI PENGUATAN

IPTEK dan Seni Dalam Pandangan Islam