FILSAFAT
ILMU
A. PENDAHULUAN
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya ilmu? Untuk apa ilmu itu dipergunakan?[1]
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terkait dengan aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Perkembangan filsafat ilmu dalam memahami
beberapa kerangka teori keilmuwan dan juga paradigma keilmuwan, terdapat
beberapa filsuf yang terkenal karena hasil pemikiran dan karyanya berpengaruh
terhadap perkembangan suatu ilmu, Salah satu tokoh filsafat yang
terkenal yakni Thomas Kuhn yang mengarang buku The Structure of Scientific
Revolution tahun 1962. Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan
fundamental tentang image atau konsep ilmu terutama ilmu sains yang
telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan
membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan
Rasionalisme klasik.[2]
Dengan konsep pemikirannya ini, Thomas Kuhn tidak hanya
sekedar memberikan kontribusi besar dalam sejarah dan filsafat ilmu, tetapi
lebih dari itu, dia telah menggagas teori-teori yang mempunyai implikasi luas
dalam ilmu-ilmu sosial, seni, politik, pendidikan bahkan ilmu-ilmu keagamaan,
termasuk juga dalam pembaharuan hukum Islam dan lain-lain.
B. BIOGRAFI THOMAS KUHN
Sebelum
kita mempelajari pemikiran seseorang atau suatu tokoh, alangkah baiknya jika
kita mengetahui latar belakang atau biografi kehidupannya agar kita dapat
melihat kondisi atau keadaan sosio-cultural pada saat tokoh tersebut hidup dan
mengemukakan teorinya serta mengembangkan teorinya.
Tokoh
filsuf ini mempunyai nama lengkap Thomas Samuel Kuhn, dia lahir pada tanggal 18
Juli 1922 di Cincinnati, Ohio, Amerika, putera dari Samuel L Kuhn, ayahnya
adalah seorang Insinyur industry dan mantan Annette Stroock. Kuhn mempunyai isteri yang bernama Jehane R Kuhn, dari pernikahannya
dengan Jehane ia dikaruniai dua orang puteri yang bernama Sarah Kuhn di
Framingham, Massachussets, dan Elizabeth Kuhn di Los Angeles, serta seorang
putera yang bernama Nathaniel S Kuhn di Alington, Massachussets. Sebenarnya sebelum Kuhn menikah dengan Jehane, ia pernah
menikah dengan seorang wanita yang bernama Kathryn Muhs di Princeton, New
Jersey. Thomas Kuhn adalah seorang filosof ilmu pengetahuan, yang
pada mulanya ia adalah seorang mahasiswa yang kuliah pada bidang ilmu fisika
teoritik sebelum konsentrasi pada sejarah ilmu pengetahuan di Universitas
Hardvard.
Pada
tahun 1943 ia mendapat gelar Sarjana Muda. Gelar Master ia dapatkan pada tahun
1946. Kemudian pada tahun 1949 Kuhn menerima gelar Ph.D, dalam
satu bidang dan satu Universitas yaitu bidang fisika dari Hardvard University
dan di sana ia diangkat sebagai Asisten Professor
di bidang Pendidikan Umum dan Sejarah Ilmu.
Pada
tahun 1954 Kuhn mendapat gelar Guggenheim Fellow. Pada tahun 1956 ia menjadi
Dosen di University of California, Barkeley. Kemudian pada tahun 1961 ia
menjadi Professor penuh dalam bidang sejarah ilmu, dan pada tahun 1964 mendapat
gelar Professor dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu di Universitas
Princeton dalam bidang filsafat di MIT.
Pada
tahun 1979 ia kembali ke Boston, dan saat itu pula ia diangkat sebagai Professor Filsafat dan Sejarah Ilmu di Massachussets Institute of
Technology. Pada tahun 1982 Kuhn mendapat penghargaan George Sarton Medal di
bidang Sejarah Ilmu, dan mendapat gelar Honorary dari beberapa Institut, seperti Columbia University, dan beberapa universitas lain
seperti Notre Dame, Chicago, Padua, Athena, dan lain sebagainya. Kemudian pada
tahun 1983 Kuhn kembali dikukuhkan sebagai Professor. Dia diangkat sebagai
pemegang rekor pertama dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu, dan pada tahun
1991 dan pensiun dengan tetap memegang predikat Professor Emeritus.[3]
Pada
tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum
fisikawan itu meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker
dari Bronchial Tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya
di Cambridge Massachusetts. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga
anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya
dia memegang posisi sebagai Lowel Lecturer pada tahun
1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak
penghargaan lain.
Karya
Kuhn cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat banyak sambutan dari
filsuf ilmu dan ilmuwan adalah The Structure of Scientific Revolution,
sebuah buku yang terbit pada tahun 1962, dan direkomendasikan sebagai bahan
bacaan dalam kursus dan pengajaran berhubungan dengan pendidikan, sejarah,
psikologi, riset dan sejarah serta filsafat sains.[4]
C. KERANGKA EPISTEMOLOGI THOMAS KUHN
1. Urgensi Sejarah Ilmu
Pada
pendahuluan di atas telah disinggung bahwa sosok Thomas Kuhn adalah mula-mula
sebagai seorang ahli fisika yang dalam perkembangannya mendalami sejarah ilmu dan
filsafat ilmu. Karena begitu antusiasnya kepada kesadaran akan pentingnya
sejarah ilmu, ia bahkan mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada
sejarah ilmu yang baru.
Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khazanah dari pada
sebagai anekdot atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan
dalam citra sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat
sebelumnya, bahkan oleh para ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang
pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang direkam dalam karya-karya klasik,
dan yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang dipelajari oleh generasi ilmuwan
yang baru untuk mempraktekkan kejuruannya.[5]
Jika sains itu konstelasi fakta, teori, dan metode yang
dihimpun dalam buku-buku teks yang ada sekarang, maka para ilmuwan adalah
orang-orang yang, berhasil atau tidak, berusaha untuk menyumbangkan suatu unsur
ke dalam konstelasi tertentu itu. perkembangan sains menjadi proses sedikit
demi sedikit yang menambahkan item-item ini, satu per satu atau dalam bentuk
gabungan, kepada timbunan yang semakin membesar yang membentuk teknik dan
pengetahuan sains. Dan sejarah sains menjadi disiplin yang berturut-turut
mencatatkan tambahan-tambahan yang terus-menerus ini maupun rintangan-rintangan
yang mengisi akumulasi itu. karena berurusan dengan perkembangan sains, maka
sejarahwan itu tampaknya mempunyai dua tugas utama. Di satu pihak ia harus
menetapkan oleh orang apa dan pada saat mana fakta, dalil, dan teori sains
kontemporer itu ditemukan atau diciptakan. Di pihak lain, ia harus mengguraikan
dan menerangkan penumpukan kekeliruan, mitos, dan takhayul yang mengisi
akumulasi yang lebih cepat dari unsur-unsur pokok buku teks sains modern.[6]
Pada
tahun 1950-an, ketika Kuhn memulai studi sejarah ilmu pengetahuan, sejarah ilmu
pengetahuan masih muda dalam disiplin akademis. Meskipun
demikian, itu menjadi jelas bahwa perubahan ilmiah tidak selalu langsung
sebagai standar, pandangan tradisional akan memilikinya. Kuhn adalah yang
pertama dan penulis paling penting untuk mengartikulasikan sebuah alternatif
dikembangkan nilai dalam filsafat ilmu. Kuhn sepenuhnya sadar akan pentingnya
inovasi-nya untuk filsafat, dan memang pekerjaannya disebut 'sejarah untuk
tujuan filosofis'.[7]
Gagasan
Thomas Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada
filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, popper memutar balikkan kenyataan
dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan
hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun Popper justru
menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi
teorinya.[8]
Hal
ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Thomas Kuhn yang lebih
mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Dengan
demikian filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan
aktifitas ilmiah yang sesungguhnya. Begitu urgensinya sejarah ilmu ini dalam
membuktikan teori-teori atau sistem, dapat menghantarkan kemajuan
revolusi-revolusi ilmiah. Menurut Thomas Kuhn bahwa kemajuan ilmiah itu
pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara kumulatif.[9]
2. Paradigma dan Normal Science
Untuk
menemukan hubungan antara kaidah, paradigma, dan sains yang normal perlu diperhatikan lebih dulu bagaimana sejarahwan mengisolasi
tempat-tempat tertentu dari komitmen yang baru saja diuraikan sebagai
kaidah-kaidah yang diterima. Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu
spesialitas tertentu pada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan
yang berulang-ulang dan kuasi standar tentang beberapa teori dalam penerapan
konseptual, observasional, dan instrumental. Inilah paradigma-paradigma
masyarakat yang diungkapkan dalam buku-buku teks, ceramah-ceramah, dan
praktek-praktek laboratoriumnya. Dengan mempelajarinya dan dengan
mempraktekkannya bersama mereka, anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan
itu mempelajari kejuruan mereka. Tentu saja selain itu sejarahwan akan
menemukan daerah penumbra yang ditempati pencapaian-pencapaian yang statusnya
masih diragukan, tetapi inti masalah-masalah dan teknik-tekniknya biasanya akan
menjadi jelas. Meskipun kadang-kadang terdapat ambiguitas, paradigma-paradigma
masyarakat sains yang matang bisa ditentukan dengan relatif mudah.[10]
Penentuan
paradigma-paradigma bersama itu, bagaimana pun, bukan penentuan kaidah-kaidah
bersama. Hal itu menuntut langkah kedua, yaitu langkah yang agak berbeda
jenisnya. Ketika melakukannya, sejarahwan harus membandingkan
paradigma-paradigma masyarakat itu satu sama lain dengan laporan-laporan riset
pada masa itu.
Paradigma-paradigma
bisa menentukan sains yang normal tanpa campur tangan kaidah-kaidah yang dapat
ditemukan.[11] Kuhn
berpendapat bahwa sains atau ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu,
maka dari itu suatu paradigma hanya sesuai untuk permasalahan yang ada pada
saat tertentu saja. Sehingga ketika dihadapkan pada persoalan yang berbeda dan
dalam kondisi atau situasi yang berbeda pula, perpindahan antara satu paradigma
menuju paradigma yang baru yang lebih sesuai itu sangat dibenarkan dan
merupakan suatu keharusan. Hal itu menunjukan bahwa suatu paradigma tidak akan
bersifat mutlak, dalam artian mengikuti kondisi dan suatu permasalahan
tertentu.[12]
Adapun paradigma menurut Kuhn ada dua pengertian, yang
pertama, yaitu paradigma berarti keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai,
teknik yang dimiliki oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Yang kedua, Kuhn
mengemukakan bahwa paradigma merupakan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang
konkret yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan
kaidah-kaidah yang secara eksplisit menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan
dan teka-teki normal sains yang belum tuntas. Paradigma
merupakan elemen primer dalam proses sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja
dalam paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma
dasar.
Menurut
Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended (sifatnya selalu terbuka untuk
direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih
cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian, filsafat ilmu diharapkan lebih
mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurutnya, ilmu
harus berkembang secara revolusioner bukan berkembang secara kumulatif
sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan empiris klasik, sehingga dalam teori
Kuhn, faktor sosiologis, historis serta psikologis ikut
berperan. Singkatnya paradigma menurut Thomas Kuhn dapat diartikan sebagai,
"Seluruh konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki oleh suatu
komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)".[13]
Dengan
demikian, paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap
komunitas ilmiah. Dalam komunitas tersebut mereka membaca, menafsirkan,
mengungkap, dan memahami alam, sehingga menurut Kuhn paradigmalah yang
menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuawan, tanpa
paradigma tertentu para ilmuawan tidak bisa mengumpulkan fakta-fakta, dengan
tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin
sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan,
akibatnya pengumpulan fakta hampir semuanya merupakan aktivitas acak.[14]
Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi
yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah
pada suatu paradigma tunggal yang telah dianut oleh suatu masyarakat ilmiah,
suatu paradigma yang terdiri dari asumsi-asumsi teoritis yang umum dari
hukum-hukum serta teknik-teknik untuk penerapannya diterima oleh para anggota
komunitas ilmiah, keadaan seperti inilah yang dikatakan dalam tahapan paradigma
normal science.[15]
Ilmuwan-ilmuwan yang
risetnya didasarkan atas paradigma bersama terikat pada kaidah-kaidah dan
standar-standar praktek ilmiah yang sama. Contoh konsep yang disepakati
pada tahapan normal sains ini adalah pada abad ke-18 paradigma
disajikan tentang Optik karya Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah
partikel yang sangat halus yang diterima oleh komunitas ilmiah pada zaman
tersebut.
Dari
penjelasan di atas bisa dikatakan pada tahap ini tidak terdapat
sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuwan, sehingga
paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima
tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai
kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science. Untuk lebih
jelasnya, berikut akan dijelaskan analisis
Kuhn tentang sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa praktek ilmu datang
dalam tiga fase; yaitu[16]:
a. Tahap pertama, tahap pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali
dimana tidak ada konsensus tentang teori apapun. penjelasan Fase ini umumnya
ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap. Akhirnya
salah satu dari teori ini "menang".
b. Tahap kedua, Normal Science. Seorang ilmuwan yang
bekerja dalam fase ini memiliki teori override (kumpulan teori) yang
oleh Kuhn disebut sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas
ilmuwan adalah rumit, memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Akhirnya,
bagaimanapun, masalah muncul, dan teori ini diubah untuk mengakomodasi bukti
eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori asli. Akhirnya,
teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan beberapa fenomena atau
kelompok dari padanya, dan seseorang mengusulkan penggantian atau redefinisi
dari teori ini.
c. Tahap ketiga, pergeseran paradigma, mengantar pada
periode baru ilmu pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang
ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-teori baru
menggantikan yang lama.
Sebagi
contoh fenomena adanya pergeseran paradigma ini adalah tentang saran Copernicus
bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan saran Ptolemeus bahwa Matahari
(dan planet-planet lain dan bintang-bintang) berputar mengelilingi bumi.
Sebelum Copernicus
ada set yang rumit epicycles (lingkaran di atas lingkaran) yang digunakan untuk
memprediksi pergerakan 'benda langit'. Epicyclic asli Ptolmey kombinasi itu,
oleh Abad Pertengahan, menjadi terlihat kurang memadai, dan 'memperbaiki'; oleh
astronom kemudian lebih dan lebih rumit. Copernicus
menawarkan kembali ke pandangan alternatif (disarankan oleh banyak orang di Antiquity),
tetapi dengan lebih data yang lebih baik untuk mendukungnya; account baru ini
menurunkan kompleksitas teori yang diperlukan untuk menjelaskan pengamatan yang
tersedia. Tentu saja, sekali oleh Copernicus
'teori ini diterima oleh para astronom lain, itu diantara masuk periode baru'
sains normal '. Penyempitan ditambahkan oleh Kepler
dan Newton
berpegang pada paradigma baru. Contoh-contoh lainnya yang lebih baru adalah
penerimaan Einstein
relativitas umum untuk menggantikan Newton
tentang gravitasi pada tahun 1920 dan 1930; dan lempeng tektonik Wegener tahun
1960 oleh ahli geologi.[17]
Menurut
Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah pergeseran paradigma begitu jauh berbeda melihat
teori-teori mereka yang tak tertandingi - pergeseran paradigma tidak hanya
mengubah satu teori, hal itu akan mengubah cara bahwa kata-kata yang
didefinisikan, cara para ilmuwan melihat mereka subjek, dan mungkin yang paling
penting pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sah, dan aturan-aturan yang
digunakan untuk menentukan kebenaran suatu teori tertentu. Contoh lain dari
pergeseran paradigma dalam ilmu alam yaitu beberapa "kasus-kasus
klasik" dari pergeseran paradigma Kuhn dalam ilmu pengetahuan adalah:
a. Penerimaan teori Biogenesis, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan, yang
bertentangan dengan teori generasi spontan, yang dimulai pada abad ke-17
dan tidak lengkap hingga abad ke-19 dengan Pasteur.
b. Penerimaan teori seleksi alam Charles Darwin digantikan Lamarckism sebagai mekanisme evolusi.
c. Transisi antara pandangan dunia fisika Newton dan pandangan dunia relativistik
Einstein.
Adapun
contoh dalam bidang ilmu-ilmu sosial diantaranya tentang: The Keynesian Revolution yang biasanya
dipandang sebagai pergeseran besar dalam makroekonomi. Menurut John Kenneth Galbraith mengatakan, Hukum didominasi pemikiran ekonomi sebelum
Keynes selama lebih dari satu abad, dan peralihan ke Keynesianisme sangat
sulit. Ekonom yang bertentangan dengan hukum, yang disimpulkan bahwa setengah
pengangguran dan kurangnya investasi (ditambah dengan oversaving) adalah
tidak mungkin, beresiko kehilangan karier mereka. Dalam
magnum opus, Keynes dikutip salah seorang pendahulunya, JA Hobson, yang
berulang-ulang menyangkal posisi di universitas untuk teori sesat. Monetarists
berpendapat bahwa kebijakan fiskal tidak penting bagi stabilisasi ekonomi,
berbeda dengan Keynes pandangan bahwa baik kebijakan fiskal dan moneter yang
penting.
Konsep
sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak
dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering
berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan istilah
“sains normal”. Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa contoh
praktik ilmiah nyata yang diterima (contoh-contoh yang bersama-sama mencakup
dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang
melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Atau dengan kata lain,
sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun
praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma
ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan
berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan
tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya
dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang
disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis.
Dalam
krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah
keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi
pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau
mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan
membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah
revolusi ilmiah.
Dari
sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih
sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh
statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah
yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan.
Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau
perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada
mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan
contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas
serta ketepatannya masih dipertanyakan.
Dalam
perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidakberhasilan teori Ptolemaeus
betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus. Contoh lain
tentang hal ini, misalnya bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenaan dengan
teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis
kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa
karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya yang hanya
berumur setengah abad dan berakhir ketika muncul teori baru dari Newton yang
mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori ini pun
sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori
baru yang bisa dikatakan lebih "unggul" yang digagas oleh Young dan
Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan
Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Transformasi-transformasi
paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari
paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi. Hal ini
merupakan perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.[18]
3. Anomali dan Munculnya Penemuan Sains
Sains yang normal adalah kegiatan yang sangat kumulatif,
benar-benar berhasil dalam tujuannya, perluasan secara tetap ruang lingkup dan
presisi pengetahuan sains. Dengan segala hal ini ia dengan presisi yang tinggi
cocok dengan kebanyakan citra yang biasa tentang karya ilmiah. Namun, satu
produk standar dari kegiatan ilmiah ini tidak ada. Sains yang normal tidak
ditujukan kepada kebaruan-kebaruan fakta atau teori, dan jika berhasil, tidak
menemukan hal-hal tersebut. Meskipun demikian, gejala-gejala baru dan tak
terduga tersebut berulang kali tersingkap oleh riset ilmiah dan teori-teori
baru yang radikal terus-menerus diciptakan oleh para ilmuwan. Bahkan sejarah
mengemukakan bahwa kegiatan ilmiah ini telah mengembangkan teknik yang
kekuatannya tiada bandingannya untuk menghasilkan kejutan-kejutan jenis ini.
Jika karakteristik sains ini akan diselaraskan dengan apa yang telah dikatakan,
maka riset yang mengikuti sebuah paradigma harus merupakan cara yang sangat
efektif untuk mendorong perubahan paradigma. Itulah yang dilakukan oleh
kebaruan-kebaruan fakta dan teori yang fundamental. Jika dihasilkan secara
ceroboh oleh suatu permainan yang dilakukan di bawah suatu perangkat peraturan,
maka asimilasinya menuntut perluasan perangkat yang lain. Setelah menjadi
bagian dari sains, kegiatan itu, setidak-tidaknya kegiatan para spesialis di
dalam bidangnya yang tertentu terdapat hal-hal baru itu, tidak akan pernah
persis sama lagi.[19]
Data
anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali
dengan kegiatan ilmiah. Dalam keterkaitan ini, Kuhn menguraikan dua macam
kegiatan ilmiah yaitu[20]:
a. Puzzle solving
Dalam
puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi
yang tujuannya untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari
kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan
penting atau malah berefek konflik, maka suatu paradigma baru harus
diciptakan/dimunculkan.
b. Penemuan paradigma baru
Penemuan
baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing, melainkan episode-episode yang
diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan
kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara
telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains
yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak
diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma
itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan.
Jadi, intinya bahwa dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta
dengan teori yang baru. Dari teori ini Thomas Kuhn memberikan definisi yang
berbeda antara discovery dan invention. Yang dimaksud discovery adalah kebaruan
faktual (penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan) yang
mana keduanya saling terjalin erat satu sama lain.
4. Revolusi Ilmiah: Permasalahan dan Keutamaannya
Pada
uraian di atas telah disinggung tentang revolusi sains (revolusi ilmiah) yang
muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah,
dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang
dijadikan sebagai referensi riset. Revolusi sains di sini merupakan sebuah
episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya terangkum sebuah paradigma
lama yang diganti sebagian atau keseluruhan dengan paradigma baru (yang
bertentangan).[21] Adanya revolusi sains bukanlah hal yang berjalan
mulus tanpa hambatan, namun kerap kali ada pro-kontra serta gesekan-gesekan dari masyarakat yang
menyertainya. Sebagai contoh: misalnya mengenai perdebatan antara pendukung
Aristoteles dengan pendukung Galileo dalam melihat benda berayun. Aristoteles
membuat teori bahwa benda berayun itu hanyalah jatuh dengan kesulitan karena
tertahan oleh rantai. Sedang Galileo memandang benda yang berayun itu dari sisi
pendulumnya.
Dalam
pemilihan paradigma tidak ada standar baku melainkan hanyalah menyesuaikan diri
terhadap persetujuan masyarakat. Adanya revolusi sains dengan berbagai teori
argumentatifnya akan membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan
paradigma atau munculnya paradigma baru sebagai akibat dari revolusi sains
tiada lain hanyalah sebuah konsensus atau kesepakatan yang sangat ditentukan
oleh retorika di kalangan akademisi atau masyarakat itu sendiri. Sejauh mana
paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka disitulah
revolusi sains (revolusi ilmiah) akan terwujud. Selama proses revolusi, para
ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan ketika menggunakan
instrumen-instrumen yang sangat dikenalnya untuk melihat tempat-tempat yang
pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan
ke daerah lain dimana objek-objek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam
penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan objek-objek yang tidak dikenal.
Kalaupun ada ilmuwan atau sebagian kecil ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma
yang baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang
telah dibongkar yang sudah tidak mendapat legitimasi dari masyarakat sains,
maka aktifitas-aktifitas risetnya hanya merupakan tautologi
yang tidak bermanfaat sama sekali. Inilah yang dinamakan perlunya revolusi
ilmiah.[22]
DAFTAR PUSTAKA
Amanahme. 2011.
Epistemologi: Paradigma Kuhn, http://amanahtp.wordpress.
com/2011/10/10/epistemologi-paradigma-kuhn/, diakses 28 Oktober 2011.
Camp, Adsense.
2010. Revolusi Ilmu Pengetahuan Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum
Islam, http://afinz.blogspot.com/2010/04/revolusi-ilmu-pengetahuan-relevansinya.html, diakses 28
Oktober 2011.
Juhaya S. Prof.
Dr. 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana. Cet.iii.
Kamal, Muhammad
Ali Mustofa. 2009. Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn dan Relevansinya bagi
Ilmu-Ilmu Agama, http://ustadzmustofakamal.blogspot. com/2009/12/
revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html, diakses 28 Oktober 2011.
Kattsoff, Louis
O. 1992. Elements of Philosophy. Penj. Soejono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Kuhn, Thomas
Samuel. 2000. The Structure of Scientific Revolutions. Penj. Tjun
Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Cet. III.
Miftah. 2010. Revolusi
Ilmiah menurut Thomas Samuel Kuhn, http://munzaro.
blogspot.com/2010/06/revolusi-ilmiah-menurut-thomas-samuel.html, diakses 28
Oktober 2011.
Muslehuddin,
Muhammad. 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Yogya:
PT. Tiara Wacana. Cet. II.
My Jelly. 2010.
Paradigma Thomas Samuel Kuhn, http://freiremuda.blogspot.
com/2010/05/paradigma-thomas-samuel-kuhn.html?zx=78361b381c4700 a3, diakses 28
Oktober 2011.
Suriasumantri,
Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. Cet. Xxi.
Supriyadi,
Dedi. M.Ag. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Verhak dan Imam
R. Haryono. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
Wikipedia
Ensklopedi Bebas. Filsafat Ilmu, http://id.wikipedia.org/wiki/
Filsafat_ilmu, diakses 31 Oktober 2011.
Zubaedi, dkk.
2007. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hal. 33
[2] Amanahme, 2011. Epistemologi: Paradigma Kuhn, http://amanahtp.wordpress.com/2011/
10/10/epistemologi-paradigma-kuhn/, diakses 12 Januari 2013.
[3] My Jelly, 2011. Paradigma
Thomas Samuel Kuhn, http://freiremuda.blogspot.
com/2010/05/paradigma-thomas-samuel-kuhn.html?zx=78361b381c4700a3, diakses 28
Oktober 2011.
[4] Amanahme, 2011. Epistemologi: Paradigma Kuhn,
http://amanahtp.wordpress.com/
2011/10/10/epistemologi-paradigma-kuhn/, diakses 28 Oktober 2011.
[5] Thomas S. Kuhn, The Strukture of Scientific
Revolotions. Penj. Tjun Surjaman (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000),
cet. III, h. 1.
[7] Muhammad Ali Mustofa Kamal, 2009. Revolusi
Ilmiah Thomas Kuhn dan Relevansinya bagi Ilmu-Ilmu Agama, http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/
revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html, diakses 28 Oktober 2011.
[8] Verhak dan
Imam R.Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), h.
165.
[9] Muhammad Ali Mustofa Kamal, 2009. Revolusi
Ilmiah Thomas Kuhn dan Relevansinya bagi Ilmu-Ilmu Agama, http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/ revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html, diakses 28
Oktober 2011.
[10] Thomas S. Kuhn, The Strukture..., h. 43.
[11] Thomas S. Kuhn, The Strukture..., h. 46.
[12] My Jelly, 2011. Paradigma Thomas Samuel Kuhn, http://freiremuda.blogspot.
com/2010/05/paradigma-thomas-samuel-kuhn.html?zx=78361b381c4700a3, diakses 28
Oktober 2011.
[13] My Jelly, 2011. Paradigma Thomas Samuel Kuhn, http://freiremuda.blogspot.
com/2010/05/paradigma-thomas-samuel-kuhn.html?zx=78361b381c4700a3, diakses 28
Oktober 2011.
[14] Amanahme, 2011. Epistemologi: Paradigma Kuhn, http://amanahtp.wordpress.com/
2011/10/10/epistemologi-paradigma-kuhn/, diakses 28 Oktober 2011.
[16] Muhammad Ali Mustofa Kamal, 2009. Revolusi Ilmiah
Thomas Kuhn dan Relevansinya bagi Ilmu-Ilmu Agama, http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/
revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html, diakses 28 Oktober 2011.
[18] Miftah, 2010. Revolusi Ilmiah menurut Thomas Samuel Kuhn, http://munzaro.
blogspot.com/2010/06/revolusi-ilmiah-menurut-thomas-samuel.html, diakses 28
Oktober 2011.
[19] Thomas S. Kuhn, The Strukture..., h. 52.
[20] Muhammad Ali Mustofa Kamal, 2009. Revolusi Ilmiah
Thomas Kuhn dan Relevansinya bagi Ilmu-Ilmu Agama, http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/
revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html, diakses 28 Oktober 2011.
[21] Thomas S. Kuhn, The Strukture..., h. 91.
[22] Muhammad Ali Mustofa Kamal, 2009. Revolusi Ilmiah
Thomas Kuhn dan Relevansinya bagi Ilmu-Ilmu Agama, http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/
revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html, diakses 28 Oktober 2011.
Comments
Post a Comment