PENAFSIRAN AL-QUR’AN PADA
MASA KLASIK
A.
METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Sebelum berbicara tentang
metode penafsiran al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang
pengertian metode itu sendiri.
Metode adalah : Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud. Dalam hal ini berarti berbicara menganai hubungan tafsir al-Qur’an dengan
media atau alat yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Media untuk
memperoleh pengetahuan dan pemahaman teks-teks atas nash al-Qur’an dapat
berupa; nash (al-Qur’an dan al-Hadits), akal, ataupun intuisi.
1. Bentuk Penafsiran
Yang dimaksud dengan bentuk penafsiran disini ialah naw’
(macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, paling
tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu Al-Ma’tsur
(riwayat) dan Al-Ra’y (pemikiran).
a. Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering
disebut dengan “Tafsir bi Al-Ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang
paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam.
Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab
tafsir seumpama tafsir Al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir, dan
lain-lain.
Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan
sumber penting di dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW.
diyakini sebagai penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul
istilah “metode tafsir riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah
hermeneutik Al-Qur’an klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang
menggunakan data riwayat dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel
penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah
menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa
dilakukan dengan menafsirkan antar ayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan
sahabat. Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
ayat lain dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan
bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya
merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data
materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu
ini secara metodologis tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir
riwayat.
b. Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan
peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan
aliran di kalangan umat. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan
pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka
mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan
sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika itulah
berkembangnya bentuk penafsiran Al-Ra’y (tafsir melalui pemikiran atau
ijtihad).
Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar
perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk
tersebut di atas, yaitu Bi Al-Ma’tsur (melalui riwayat) dan Bi Al-Ra’y (melalui pemikiran atau
ijtihad).
2.
Metode
Penafsiran
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu
yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan
pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu
perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang
sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu
sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran
Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan
Al-Farmawi, yaitu : Ijmaliy (global), Tahliliy (analistis), Muqaran (perbandingan), dan Mawdhu’iy (tematik).
Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat
metode tafsir tersebut secara rinci, yaitu :
1. Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode Tafsir Ijmali (global) ialah
suatu metode tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian
tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya
menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak
terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya
seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya.
Ciri-ciri Metode Ijmali adalah seorang mufasir langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola
serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam metode
analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih
banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode
global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu.
Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan
kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya;
namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi
tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
2. Metode Tahliliy (Analisis)
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.
Ciri-ciri Metode Tahlili adalah Pola atau metode penafsiran
yang diterapkan para penafsir terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan
makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan
menyeluruh, baik yang berbentuk Al-Ma’tsur,
maupun Al-Ra’y, misalnya : Al-Qur’an
ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak
ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
3.
Metode Muqarin
(Komparatif)
Pengertian
metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai
berikut :
a. Membandingkan teks (nash)
ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama. Mufasir
membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau
ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga)
sama.
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang
pada lahirnya terlihat bertentangan. Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits
Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan
kompromi antara keduanya.
c.
Membandingkan
berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Mufasir
membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (Al-Tafsir Al-Ma’tsur) maupun yang bersifat Ra’yu (Al-Tafsir Bi Al-Ra’yi).
Ciri-ciri
Metode Muqarin
disini letak
salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode
lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan
ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut
dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran
dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.
4. Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan
secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Ciri-ciri metode mawdhu’iy ialah menonjolkan
tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa
metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu
sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu
dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan
kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y
al-Mahdh).
Bermanfaat kakak tapi saya ada pertanyaan nih,
ReplyDeleteJadi gimana yang penafsiran masa kontemporernya..? Dan apa bedanya dengan yang di masa klasik