TAFSIR AL
QUR’AN MASA KLASIK
Pembangunan
umat Islam bahkan pembangunan seseorang manusia, tidaklah mungkin dengan hanya
berpegang kepada pengalaman semata tanpa adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran
Al Qur’an yang meliputi segala unsur kebahagiaan bagi jenis manusia. Dengan mudah kita dapat mengetahui, bahwa
tidak mungkin beramal dengan ajaran-ajaran Al Qur’an, terkecuali sesudah kita
memahami Al Qur’an, mengetahui isinya, prinsip-prinsip yang diatur. Hal ini
tidaklah mungkin dicapai, melainkan dengan mengetahui apa yang ditunjukkan oleh
lafal-lafal Al Qur’an. Maka untuk dapat menguraikan lafal-lafal Al Qur’an yang
bersifat global itu perlu adanya upaya dan proses penafsiran Al Qur’an.
Karenanyalah, dapat kita tetapkan bahwa tafsir adalah anak kunci perbendaharaan
isi Al Qur’an yang diturunkan untuk memperbaiki keadaan manusia, melepaskan
manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan derap
langkah perkembangan peradaban dan budaya manusia. Tafsir sebuah hasil dari
dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau tidak
mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Setiap generasi akan
mewarisi kebudayaan generasi-generasi sebelumnya, kebutuhan suatu generasi
berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi lain. Begitu pula
perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat di katakan sama keperluan dan
kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang
telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya, serta saling
tukar-menukar pengalaman yang di alami oleh manusia pada suatu daerah dengan
daerah yang lain, mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai
dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan
dan masa membutuhkan pula. Demikian pula halnya dengan Al Qur’an, ia berkembang
mengikuti irama perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu
generasi.
Hal itu yang
membuat para peminat studi Al Qur’an
khususnya dan umat Islam pada umumnya dituntut untuk selalu cerdas
mengembangkan penafsiran Al Qur’an, sebab setiap zaman memiliki kekhasannya
sendiri-sendiri. Tiap-tiap generasi melahirkan tafsir-tafsir Al Qur’an yang
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan
Agama Islam sendiri.
Tafsir
bil-ma’tsur ialah penafsiran ayat-ayat al-Quran yang dibuat menggunakan
penjelasan dari ayat al-Qur’an, hadits-hadits Rasul SAW yang sahih dan riwayat
para sahabat atau dengan sesuatu yang dikatakan oleh tabi’in besar kerana
mereka menerima perkara tersebut daripada sahabat. Sedangkan tafsir bir ra’yun
dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan menggunakan akal) yang di dasarkan
atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal sehat dan persyaratan yang
ketat. Tafsir bir ra’yu terbagi menjadi dua bagian, antara lain tafsir terpuji
dan tafsir tercela. Tafsir yang terpuji ialah tafsir al-Qur’an yang di dasarkan
dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai
dengan peraturan bahasa Arab serta tafsir ini tergantung kepada metodologi yang
tepat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan tafsir yang tercela ialah tafsir
al-Qur’an tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang benar, yaitu tafsir yang
hanya didasarkan hanya kepada keinginan seseorang dengan mengabaikan peraturan
dan persyaratan tata bahasa serta kaidah-kaidah hukum Islam
A.
TAFSIR
BIL-MA’TSUR
Tafsir
bil-ma’tsur ialah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dibuat menggunakan
penjelasan dari ayat al-Qur’an, hadits-hadits Rasul SAW yang sahih dan riwayat
para sahabat atau dengan sesuatu yang dikatakan oleh tabi’in besar karena
mereka menerima perkara tersebut dari para sahabat. Menurut Thameem Ushama,
dalam metodologi tafsir al-Qur’an mengatakan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur adalah
tafsir yang merujuk pada penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau penafsiran
al-Qur’an dengan al-Hadits melalui penuturan para sahabat.
Sedangkan
menurut syaikh Manna’ al-Qaththan, tafsir bil ma’tsur ialah tafsir yang
berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang shahih atau menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al-Qur’an dengan sunnah, perkataan sahabat
karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan pendapat
tokoh-tokoh besar tabi’in.
Metode ini
merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat diperbandingkan dengan sumber
lain, karena menyaksikan disaat turunnya wahyu. Dan menurut Imam Muchlas
mengatakan bahwa tafsir bil ma’tsur ialah usaha penafsiran al-Qur’an hanya
dengan ayat al-Qur’an itu sendiri dan hadits Rasulullah SAW dan perkataan para
sahabat.
1. Sumber Tafsir al-Quran Bi al-Ma’thur
Tafsir bi al
ma’tsur merupakan tafsir yang merujuk pada penafsiran al-Qur’an dengan
al-Qur’an, al-Qur’an maupun dengan hadits serta al-Qur’an dengan perkataan
sahabat Rasulullah. Metode ini merupakan tafsir yang tertinggi yang tidak dapat
di bandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan di saat turunya wahyu.
Berikut
contoh-contoh tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan sunnah nabi
dan tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
a.
Tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Firman Allah dalam al-Qur’an Surah Al-Maa’idah ayat 1
yang artinya; Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya
(QS 5:1)
Dengan penjelasan pengecualian makanan yang diharamkan
disebutkan pada ayat lain, yang menjelaskan. Allah berfirman dalam al-Qur’an
surah al-Maa’idah ayat 3 yang artinya: Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.(QS 5:3)
b.
Tafsir
al-Qur’an dengan sunnah
Rasulullah adalah mufassir yang paling baik, sebab dia
secara spiritual telah di tunjuk oleh Allah untuk mencerahkan wahyu kepada
manusia. Rasul juga menjelaskan kepada manusia untuk memahami al-Qur’an. Allah
berfirman surah al-Baqarah ayat 187: Artinya: Makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam (QS 2:187)
Pada ayat 2: 187 di turunkan, Adi bin Hatim mengambil
benang putih dan hitam dan melihatnya, tetapi ia tidak dapat membedakan benang
yang satu dengan benang yang lainya. Kemudian pada pagi hari, ia mendatangi
nabi dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Kemudian nabi
menjelaskan bahwa yang di maksud dengan kalimat al-khait al-abyadhu
berarti siang dan kalimat al-khait al aswadu berarti malam.
c.
Tafsir
al-Qur’an dengan penjelasan perkataan sahabat. Bagian ketiga tafsir bi al
ma’tsur tetap menjadi pembahasan di sini yang juga layak diterima, karena para
sahabat hidup dengan dan dapat menangkap makna sesungguhnya, mereka jga
menyaksikan saat turunya wahyu.
2. Syarat-Syarat Tafsir bil Ma’tsur
Para ulama
telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh setiap mufassir
diantaranya ialah:
a.
Mempunyai
pengetahuan yang cukup mengenai ilmu hadits riwayat dan dirayat.
b.
Benar-benar
mengetahui sunnah yang berkaitan dengan tafsir, kemudian mengenai kata-kata
sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid.
c.
Berkemampuan
mengumpul dan menserasikan riwayat-riwayat yang bercanggah.
d.
Mengetahui
hakikat perselisihan tafsir dan sebab-sebabnya.
e.
Mengetahui
tentang asbab al-Nuzul dan ilmu nasikh mansukh, kerana pengetahuan tentang
asbab al-Nuzul membantu memahami nas dan ilmu nasikh mansukh untuk mengetahui
ayat yang muhkam dan mansukh.
f.
Memetik
pendapat yang sepakat sahaja dan tidak memetik pendapat yang gharib(asing).
g.
Tidak
bersandar kepada riwayat-riwayat Israiliyyat.
Menurut Manna’ al-Qaththan dalam bukunya mengatakan
syarat utama yang harus dimiliki yaitu:
a.
Akidah yang
benar, sebab akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian
berita.
b.
Bersih dari
hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan
madzhabnya, sehingga ia menipu manusia dari kata-kata halus dan keterangan
menarik seperti yang di lakukan golongan qadariyah.
c.
Menafsirkan
terlebih dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global
pada suatu tempat telah terperinci di tempat lain dan dikemukakan secara
ringkas di tempat lain.
d.
Mencari
penafsiran dari assunah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur’an
dan penjelasnya.
e.
Apabila
tidak didapatkan penafsiran dari assunah, hendaklah menggunakan pendapat para
sahabat.
f.
Apabila juga
tidak ditemukan penafsiran dalam al-Qur’an, sunnah dan pandangan para sahabat,
maka sebagian para ulama merujuk pada para pendapat tabi’in.
g.
Pengetahuan
bahasa arab yang baik, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
B. TAFSIR BIR-RA’YI
Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad
(kebebasan menggunakan akal) yang di dasarkan atas prinsip-prinsip yang benar,
menggunakan akal sehat dan persyaratan yang ketat. Menurut Imam Muchlas, tafsir
bir ra’yi ialah suatu usaha mengembangkan penafsiran al-Qur’an bil ma’tsur
dengan ijtihad akal setelah seorang mufassir itu memenuhi syarat-syarat seorang
mufassir.
Menurut Manna Khalil al-Qattan mengatakan bahwa tafsir bir ra’yi ialah tafsir
yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman
sendiri dan penyimpulan (Istinbath) yang di dasarkan pada ra’yu semata.
Sedangkan menurut Yusuf al-Qaradhawi tafsir bir ra’yi adalah ijtihad dan olah
pikir serta penelitian dalam memahami al-Qur’an dalam batas pengetahuan tentang
bahasa Arab dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir
al-Qur’an: dari perangkat syarat keilmuan dan akhlak.
1. Macam-Macam Tafsir Bi Al-Ra’yi
Tafsir bi
al-ra’yi di bagai dalam dua kategori yaitu tafsir yang terpuji (Mamdudah) dan
tafsir yang tercela (Mazdmumah).
a.
Tafsir yang
terpuji ialah tafsir al-Qur’an yang di dasarkan dari ijtihad yang jauh dari
kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa Arab
serta tafsir ini tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an.
b.
Tafsir yang
tercela ialah tafsir al-Qur’an tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang
benar, yaitu tafsir yang hanya didasarkan hanya kepada keinginan seseorang
dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa serta kaidah-kaidah
hukum Islam.
2. Kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur dan al ra’y
Beberapa
contoh kitab tafsir bi al-ma’tsur.
1.
Jami al
bayan fi tafsir al-Qur’an, Muhammad B jarir alThabari, w 30 H. ia terkenal
dengan tafsir thabari.
2.
Tafsir
al-Thabari
3.
Tafsir ini
dikarang oleh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), judul kitab tafsir ini adalah jami’
al bayan fi tafsir al-Qur’an. Tafsir ini terkenal dengan tafsir al-ma’tsur
dan di dasarkan atas riwayat-riwayat dari Rasulullah SAW, para sahabat dan para
tabi’in. Ibnu Jarir seorang mufassir, muhaddits dan muarrikh (Sejarawan)
terkenal. Kendatipun demikian, tafsirnya berisi kisah atau riwayat yang tidak
shahih, termasuk apa yang sering disebut israiliyat. Pokok-pokok grametika
al-Qur’an juga di bahas dan di jelaskan. Namun kitab ini merupakan salah satu
karya tafsir terkenal dan di jadikan rujukan oleh para ulama.
4.
Bahr al
Ulum, Nasr B. Muhammad al-samarqandi, w 373 H. Terkenal dengan Tafsir
al-Samarqandi.
5.
Al-Khasf wa
al bayan, karya ahmad bin Ibrahim al-tha’labi al nisaburi , w 427 H terkenal
dengan Tafsir al-Thalabi.
Beberapa contoh kitab tafsir bi
al-ra’yi
1.
Mafatih
al-ghayib, karya Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-razy. Wafat pada tahun 606
H terkenal dengan Tafsir al-Razi.
2.
Anwar al
tanzil wa asrar al-ta’wil, karya abd allah bin umar al-baaydhawi, wafat pada
tahun 685, terkenal dengan Tafsir Al-Baydhawi.
3.
Tafsir
al-jalaalayn, karya 1 jalal al-Din al-mahalli, wafat pada tahun 764 dan II
jalal al-Din al-Suyuthi, yang wafat pada tahun 911, terkenal dengan Tafsir
Jalalayn.
C.
TAFSIR ISYARAH
Tafsir isyarah adaalh penafsiran
Al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk
yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulalma, atau hanya diketahui
oleh orang-orang yang mengenal Allah. Dalam tafsir ini, para mufassir
berpendapat dengan makna lain tidak sebagaimana ynag tersurat daalm Al-Qur’an,
tetapi penanfsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan, kecuali mereka
yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, dan termasuk golongan
orang yang salleh.
Tafsir isyari ini jika memasuki
isyarat-isyarat yang samamr akan menjadi suatu kesesatn. Tetapi selama ia
merupakan istinbat yang baik dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh zahitr
bahasa Arab serta didukung oleh bukti kesahihannya, tanpa pertentangan, maka ia
dapat diterima. Contoh tafsir isyari yang salah
Dalam tafsiran hadits hadis, “bersahurlah kalian karena sahur itu mengandung
barakah’. Mereka menafsirkan sahur dengan istigfar pada waktu sahur. Dan contoh
lainnya seperti itu sehingga mereka memutarbalikkan Al-Qur’an dari awal samppai
akhir dari bentuk lahirnya yaitu dari tafsir yang manqul, baik dari Ibnu Abbas
maupun dari ulama-ulama lainnya. Penafsiran semacam ini jelas keliru.
Tafsir isyari dapat diterima bila
memenuhi persyartan-persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengann makna
zahir ayat.
2. Maknanya itu sendiri sahih,
3. Pada lafal yang ditafsirkan terdapat
indikasi bagi (makna isyari) tersebut,
4. Antara makna isyari dengan makna ayat
terdapat hubungan yang erat.
Tanpa syarat-syarat tersebut diatas,
tafsir isyari tidaklah dapat diterima, yang berarti termasuk tafsir berdasarkan
seenaknya (menurut hawa nafsu dan ra’yu) yang dilarang. Allah-lah yang
memberikan taufik dan hidayah jalan yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
H. Imam Muchlas. Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan. 2004.
H. Imam Muchlas. Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan. Malang:
UMM Press. 2004.
Manna Khalil al-Qathan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: litera
antar Nusa pustaka islamiyah. 2001.
Manna’ al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar. 2007.
Thameem Ushama. Metodologi Tafsir al-Qur’an Kajian Kritis, Objektif
& Komprehensif. Jakarta: Riora Cipta. 2000.
Thameem Ushama. Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Kajian Kritis, Objektif & Komprehensif. Jakarta: Riora Cipta. 2000.
Yusuf al-Qaradhawi. Berintreaksi Dengan Al-Qur’an.
Jakarta: Gema Insani, 1999.
Yusuf al-Qaradhawi. Berintreaksi Dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani, 1999.
Thameem
Ushama. Metodologi Tafsir al-Qur’an Kajian Kritis, Objektif &
Komprehensif. (Jakarta: Riora Cipta. 2000). Hlm.5.
H. Imam
Muchlas. Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan. 2004. Hlm.76.
H. Imam
Muchlas. Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan. (Malang: UMM
Press. 2004). Hlm.78.
Manna Khalil
al-Qathan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta: litera antar Nusa
pustaka islamiyah. 2001). Hlm. 488.
Yusuf
al-Qaradhawi. Berintreaksi Dengan Al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani, 1999).Hlm.297.
Comments
Post a Comment