1.1
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan perubahan besar pada berbagai belahan di dunia.
kekuatan internasional dan nasional melalui globalisasi telah mengancam
bahkan menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia.
Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara , karena adanya perbenturan kepentingan
antara nasionalisme dan internasionalisme.
Permasalahan
kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks manakala ancaman
internasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang lain muncul masalah
internal yaitu maraknya tuntutan rakyat,
yang secara obyektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari
kesejahteraan maupun keadilan sosial.
Dalam
kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pancasila adalah falsafah
hidup yang berkembang dalam sosial budaya Indonesia. Nilai pancasila dianggap nilai
dasar dan puncak atau inti dari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini
diyakini sebagai jiwa maupun kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini
dalam menjiwai dan memberikan indentitas, maka pengakuan atas kedudukan
pancasila sebagai falsafah adalah hal yang wajar.
Pancasila
sebagai ajaran falsafah mencerminkan nilai-nilai dan pandangan mendasar rakyat
Indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha
Esa. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan,
dijadikan pula asas fundamental bernegara. Asas fundamental dalam kesemestaan
itu mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang religious
atau beragama.
Pancasila
sebagai sistem filsafat adalah merupakan kenyataan pancasila sebagai kenyataan
yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila sendiri terlepas
dari sesuatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang lain. Kenyataan
obyekrif yang ada dan terletak pada pancasila, sehingga pancasila sebagai suatu
sistem filsafat bersifat khas atau berbeda dalam system-sistem filsafat yang
lain. Hal ini bisa disebut sebagai
filsafat secara obyektif. Dan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan
mendasar, kita perlu mengkaji nilai-nilai pancasila dari kajian filsafat secara
menyeluruh dan jangan sampai ada kesalahan.
PEMBAHASAN
Pancasila
sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan yang saling berhubungan untuk
satu tujuan tertentu,dan saling berkualifkasi yang tidak terpisahkan satu
dengan yang lainnya. Jadi Pancasila pada dasarnya satu bagian/unit-unit yang
saling berkaitan satu sama lain,dan memiliki fungsi serta tugas masing-masing.
Filsafat
dalam Bahasa Inggris yaitu Philosophy. Selain itu istilah filsafat juga ada
yang berasal dari Bahasa yunani yaitu, Philosophia , yang terdiri atas dua kata
yaitu Philos "cinta” atau Philia "persahabatan, tertarik kepada dan
Sophos "hikmah, kebijaksanaan,pengetahuan, keterampilan, intelegensi. Jadi
secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran
"Love of Wisdom”. Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut
Failasuf.
Dalam
artian lain filsafat merupakan pemikiran fundamental dan monumental manusia
untuk mencari kebenaran yang hakiki "hikmat,kebijaksanaan” karenanya
kebenaran ini diakui sebagai nilai kebenaran terbaik, yang dijadikan pandangan
hidup. Berbagai tokoh ajaran terbaik mereka dari berbagai bangsa menemukan dan
merumuskan sistem filsafat sebagai ajaran terbaik mereka yang dapat berbeda
antar ajaran filsafat , karena itulah berkembang berbagai aliran filsafat yaitu
materialisme, idealisme, spiritualisme, realisme, dan berbagai aliran modern,
rasionalisme, humanisme, individualisme,liberalisme, kapitalisme,
marxisme-komunisme, sosialisme dll.
Faktor
timbulnya rasa ingin manusia untuk berfilsafat adalah Keheranan, sebagian
filsuf berpendapat bahwa adanya kata heran merupakan asal dari filsafat. Rasa
heran itu mendorong untuk menyelidiki dan mempelajari. Kesangsian, merupakan
sumber utama bagi pemikiran manusia yangakan menuntun pada kesadaran. Sikap ini
sangat berguna untuk menemukan titik
pangkal yang kemudian tidak disangsikan lagi. Kesadaran tentang keterbatasan,
manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari
bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam
sekelilingnya. Kemudian muncul kesadaran tentang keterbatasan bahwa diluar yang
terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas.
Pancasila
adalah lima sila yang merupakan satu kesatuan rangkaian nilai-nilailuhur
yang bersumber dari nilai-nilai budaya
masyarakat Indonesia yang sangatmajemuk dan
beragam dalam artian BHINEKA TUNGGAL IKA. Esensi seluruh sila-silanya
merupakan suatu kasatuan. Pancasila berasal dari identitas atau kepribadian
Bangsa Indonesia dan unsur-unsurnya telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sejak
dahulu. Objek materi filsafat adalah mempelajari segala hakikat sesuatu baik
materal konkrit (manusia,binatang,alamdll) dan abstak (nilai,ide,moral dan
pandangan hidup). Pancasila Sebagai Sistem Filsafat memiliki dua nilai yaitu
Nilai Obyektif dan Subyektif.
Nilai-nilai
objektif Sistem Filsafat Pancasila adalah sebagai berikut :
1. Rumusan dari lima sila yang
ada pada pancasila menunjukkan adanya sifat – sifat yang umum, universal dan
abstrak. karena pada hakikatnya pancasila adalah sebuah nilai.
2. Inti nilai-nilai
Pancasila tidak terikat oleh ruang.
Artinya keberlakuannya sejak jaman
dahulu, masa kini dan juga untuk masayang akan datang, untuk bangsa
Indonesia boleh jadi untuk negara lain
yang secara eksplisit tampak dalm adat istiadat, kebudayaan, tata hidup
kenegaraaan dan tata hidup beragama.
3. Pancasila yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara
yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia.
Oleh sebab itu, hierarki suatu tertib hukum di Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum tertinggi.
Maka secara objektif tidak dapat diubah secara hukum, sehingga melekat pada
kelangsungan hidup bernegara. Sebaga konsekuensinya jikalau nilai-nilai yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan
membubarkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sedangkan
Nilai-nilai Subjektif sistem Filsafat Pancasila adalah Nilai Pancasila timbul
dari bangsa Indonesia itu sendiri
Nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila merupakan hasil dari pemikiran,panilaian,
dan re;eksi filosofis dari bangsa Indonesia sendiri. Selagi pancasila berbeda
denagn ideologi – ideologi lain karena
isi pancasila diambil dari nilai budaya bangsa dan religi yang telah melekat
erat,sehingga jika pancasila adalah jika bangsa Indonesia sendiri,sedangkan
ideologi lain seperti liberalis, sosialis, komunis, dan lain sebagainya
merupakan hasil dari pemikiran filsafat
orang.
Hal-hal
penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem filsafat
meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pertama,
meletakkan Pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka
dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara
materiil maupun spiritual.
Kedua,
Pancasila sebagai sistem filsafat membangun alam pemikiran yang berakar dari
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu dalam menghadapi
berbagai ideologi dunia.
Ketiga,
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi
tantangan globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan
sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
Keempat,
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of
thinking bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara
tindakan dan pemikiran. Bahaya yang ditimbulkan
kehidupan modern dewasa ini adalah ketidakseimbangan antara cara bertindak dan
cara berpikir sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu
bangsa.
a. Sumber
Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada 12 Agustus 1928,
Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme
adalah nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat
manusia hidup dalam roh (Yudi Latif, 2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia
sebagai berikut. (Lihat Negara Paripurna, Yudi Latif).
1.
Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa
Sejak
zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat
Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar
14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh
Kristen. Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai
kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem
religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki
peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial (Yudi-Latif,
2011: 57--59).
2.
Sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam
masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia
dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah
menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu
membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan
istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi
internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan
ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila
kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas
kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang
memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada
penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta
pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia
(Yudi-Latif, 2011: 201).
3.
Sila Persatuan
Indonesia.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu
kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa
majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan
teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia.
Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara
dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang
kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta
keemasannya, maka tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak
dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif, 2011:377).
4.
Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di
Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara republik Indonesia
merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah
kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian,
nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya
Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa
di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan
Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam
kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada
keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi
demokrasi di Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan
raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak
disenangi (Yudi-Latif, 2011: 387--388).
5.
Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur adalah
impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada
keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan
“Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat
yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk
mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya
adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011:
493--494).
b.
Sumber Sosiologis Pancasila
sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis Pancasila sebagai
sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama, masyarakat awam
yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat
Indonesia dalam bentuk pandangan hidup, Way of life yang terdapat dalam agama,
adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok kedua,
masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat
dengan teori-teori yang bersifat akademis.
Kelompok pertama memahami sumber
sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dalam pandangan hidup atau
kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih
berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks agama, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang
religius karena perkembangan kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme,
dinamisme, politeistis, hingga monoteis.
Pancasila sebagai sistem filsafat,
menurut Notonagoro merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Artinya, sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan utuh
yang yang saling terkait dan saling berhubungan secara koheren. Notonagoro
menggambarkan kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila itu dalam bentuk
kesatuan dan hubungan hierarkis piramidal dan kesatuan hubungan yang saling mengisi
atau saling mengkualifikasi. Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang
hierarkis piramidal digambarkan Notonagoro (1980: 110) dengan bentuk piramida
yang bertingkat lima, sila Ketuhanan Yang Maha Esa berada di puncak piramida
dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai alas piramida.
Rumusan hierarkis piramidal itu dapat digambar sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
menjiwai dan meliputi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjiwai dan
meliputi sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia dijiwai
dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, menjiwai dan meliputi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dijiwai dan diliputi
oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, menjiwai dan meliputi, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan,
2003: 6061).
Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang
saling mengkualifikasi atau mengisi dapat digambar sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah KETUHANAN yang berKemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Persatuan
Indonesia, berKerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab adalah KEMANUSIAAN yang berKetuhanan Yang Maha Esa, ber-Persatuan
Indonesia, ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia adalah
PERSATUAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah KERAKYATAN
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia adalah KEADILAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Persatuan Indonesia, dan
ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
(Kaelan, 2003: 61).
c. Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
Pada awalnya, Pancasila merupakan konsensus
politik yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat. Sumber politis
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem
filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun
1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis.
Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai
sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik
Habibie 1 Juni 2011. Wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat
mengemuka ketika Soekarno melontarkan konsep Philosofische Grondslag, dasar
filsafat negara. Artinya, kedudukan Pancasila diletakkan sebagai dasar
kerohanian bagi penyelenggaran kehidupan bernegara di Indonesia. Soekarno dalam
kuliah umum di Istana Negara pada 22 Mei 1958 menegaskan tentang kedudukan
Pancasila sebagai Weltanschauung dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan
menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno, 2001: 65).
PENUTUP
Pancasila
sebagai sistem filsafat sudah dikenal sejak para pendiri negara membicarakan
masalah dasar filosofis negara (Philosofische Grondslag) dan pandangan hidup
bangsa (weltanschauung). Meskipun kedua istilah tersebut mengandung muatan
filsofis, tetapi Pancasila sebagai sistem filsafat yang mengandung pengertian
lebih akademis memerlukan perenungan lebih mendalam. Filsafat Pancasila
merupakan istilah yang mengemuka dalam dunia akademis.
Ada
dua pendekatan yang berkembang dalam pengertian filsafat Pancasila, yaitu
Pancasila sebagai genetivus objectivus dan Pancasila sebagai genetivus
subjectivus. Kedua pendekatan tersebut saling melengkapi karena yang pertama
meletakkan Pancasila sebagai aliran atau objek yang dikaji oleh aliran-aliran
filsafat lainnya, sedangkan yang kedua meletakkan Pancasila sebagai subjek yang
mengkaji aliran-aliran filsafat lainnya. Pentingnya Pancasila sebagai sistem
filsafat ialah agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar
mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik; agar dapat
dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam penyelenggaraan
negara; agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara; dan agar dapat menjadi kerangka evaluasi
terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani,
Roeslan. 1979. Pengembangan Pancasila Di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.
Bakry,
Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Muzayin.
1992. Ideologi Pancasila (Bimbingan ke
Arah Penghayatan dan Pengamalan bagi Remaja). Jakarta: Golden Terayon
Press.
Oetojo
Oesman dan Alfian (Eds). 1991. Pancasila
Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat,.
Prawirohardjo,
Soeroso, dkk. 1987. Pancasila sebagai
Orientasi Pengembangan Ilmu.Yogyakarta: Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat.
Comments
Post a Comment