Strategi dan Perencanaan Pengembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

  A.       Strategi Pengembangan Keagamaan Pada PAUD 1.        Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah SWT Diantara cara membimbing anak menuju akidah yang benar adalah dengan mendidik mereka untuk mencintai Allah. Pendidikan ini harus diberikan sejak   ini. Pada saat tersebut, mulailah mereka diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) yang terdekat disekitar mereka.   Selain itu, juga perlu diupayakan adanya keterikatan antara mereka dengan yang   telah menciptakannya, pemilik keagungan, pemberi nikmat, dan maha dermawan.   Dengan bentuk seperti ini anak pasti akan mencintai Allah (Rajih, 2008: 87-88) Rasa cinta kepada Allah beserta seluruh ciptaannya dapat diperkenalkan pada anak usia dini melalui pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik tersebut akan mengenalkan akan pada makhluk ciptaan Allah sekaligus mengenalkan anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dengan proses mengamati. Menciptakan rasa cinta kepada Allah juga diikuti oleh men

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

1.1              Latar Belakang Masalah

Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan perubahan besar pada berbagai belahan  di dunia.  kekuatan internasional dan nasional melalui globalisasi telah mengancam bahkan menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia. Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , karena adanya perbenturan kepentingan antara nasionalisme dan internasionalisme.
Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks manakala ancaman internasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang lain muncul masalah internal yaitu maraknya tuntutan rakyat,  yang secara obyektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan  maupun keadilan sosial.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pancasila adalah falsafah hidup yang berkembang dalam sosial budaya Indonesia. Nilai pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau inti dari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa maupun kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan indentitas, maka pengakuan atas kedudukan pancasila sebagai falsafah adalah hal yang wajar.
Pancasila sebagai ajaran falsafah mencerminkan nilai-nilai dan pandangan mendasar rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula asas fundamental bernegara. Asas fundamental dalam kesemestaan itu mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang religious atau beragama.
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah merupakan kenyataan pancasila sebagai kenyataan yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang lain. Kenyataan obyekrif yang ada dan terletak pada pancasila, sehingga pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas atau berbeda dalam system-sistem filsafat yang lain. Hal ini bisa  disebut sebagai filsafat secara obyektif. Dan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan mendasar, kita perlu mengkaji nilai-nilai pancasila dari kajian filsafat secara menyeluruh dan jangan sampai ada kesalahan.


PEMBAHASAN

2.1       Konsep Pancasila Sebagai Sistem Filsafat


Pancasila sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan yang saling berhubungan untuk satu tujuan tertentu,dan saling berkualifkasi yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi Pancasila pada dasarnya satu bagian/unit-unit yang saling berkaitan satu sama lain,dan memiliki fungsi serta tugas masing-masing.
Filsafat dalam Bahasa Inggris yaitu Philosophy. Selain itu istilah filsafat juga ada yang berasal dari Bahasa yunani yaitu, Philosophia , yang terdiri atas dua kata yaitu Philos "cinta” atau Philia "persahabatan, tertarik kepada dan Sophos "hikmah, kebijaksanaan,pengetahuan, keterampilan, intelegensi. Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran "Love of Wisdom”. Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut Failasuf.  
Dalam artian lain filsafat merupakan pemikiran fundamental dan monumental manusia untuk mencari kebenaran yang hakiki "hikmat,kebijaksanaan” karenanya kebenaran ini diakui sebagai nilai kebenaran terbaik, yang dijadikan pandangan hidup. Berbagai tokoh ajaran terbaik mereka dari berbagai bangsa menemukan dan merumuskan sistem filsafat sebagai ajaran terbaik mereka yang dapat berbeda antar ajaran filsafat , karena itulah berkembang berbagai aliran filsafat yaitu materialisme, idealisme, spiritualisme, realisme, dan berbagai aliran modern, rasionalisme, humanisme, individualisme,liberalisme, kapitalisme, marxisme-komunisme, sosialisme dll.
Faktor timbulnya rasa ingin manusia untuk berfilsafat adalah Keheranan, sebagian filsuf berpendapat bahwa adanya kata heran merupakan asal dari filsafat. Rasa heran itu mendorong untuk menyelidiki dan mempelajari. Kesangsian, merupakan sumber utama bagi pemikiran manusia yangakan menuntun pada kesadaran. Sikap ini sangat berguna untuk menemukan titik  pangkal yang kemudian tidak disangsikan lagi. Kesadaran tentang keterbatasan, manusia mulai berfilsafat  jika ia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Kemudian muncul kesadaran tentang keterbatasan bahwa diluar yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas.
Pancasila adalah lima sila yang merupakan satu kesatuan rangkaian nilai-nilailuhur yang  bersumber dari nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia yang sangatmajemuk dan  beragam dalam artian BHINEKA TUNGGAL IKA. Esensi seluruh sila-silanya merupakan suatu kasatuan. Pancasila berasal dari identitas atau kepribadian Bangsa Indonesia dan unsur-unsurnya telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sejak dahulu. Objek materi filsafat adalah mempelajari segala hakikat sesuatu baik materal konkrit (manusia,binatang,alamdll) dan abstak (nilai,ide,moral dan pandangan hidup). Pancasila Sebagai Sistem Filsafat memiliki dua nilai yaitu Nilai Obyektif dan Subyektif.
Nilai-nilai objektif Sistem Filsafat Pancasila adalah sebagai berikut :
1.     Rumusan dari lima sila yang ada pada pancasila menunjukkan adanya sifat – sifat yang umum, universal dan abstrak. karena pada hakikatnya pancasila adalah sebuah  nilai.
2.     Inti nilai-nilai Pancasila  tidak terikat oleh ruang. Artinya keberlakuannya sejak  jaman dahulu, masa kini dan juga untuk masayang akan datang, untuk bangsa Indonesia  boleh jadi untuk negara lain yang secara eksplisit tampak dalm adat istiadat, kebudayaan, tata hidup kenegaraaan dan tata hidup beragama.
3.      Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh sebab itu, hierarki suatu tertib hukum di Indonesia  berkedudukan sebagai tertib hukum tertinggi. Maka secara objektif tidak dapat diubah secara hukum, sehingga melekat pada kelangsungan hidup bernegara. Sebaga konsekuensinya jikalau nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan membubarkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sedangkan Nilai-nilai Subjektif sistem Filsafat Pancasila adalah Nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia itu sendiri  Nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila merupakan hasil dari pemikiran,panilaian, dan re;eksi filosofis dari bangsa Indonesia sendiri. Selagi pancasila berbeda denagn ideologi  – ideologi lain karena isi pancasila diambil dari nilai budaya bangsa dan religi yang telah melekat erat,sehingga jika pancasila adalah jika bangsa Indonesia sendiri,sedangkan ideologi lain seperti liberalis, sosialis, komunis, dan lain sebagainya merupakan hasil dari  pemikiran filsafat orang.

2.2       Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Filsafat


Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem filsafat meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pertama, meletakkan Pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara materiil maupun spiritual.
Kedua, Pancasila sebagai sistem filsafat membangun alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu dalam menghadapi berbagai ideologi dunia.
Ketiga, Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
Keempat, Pancasila sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of thinking bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan pemikiran.  Bahaya yang ditimbulkan kehidupan modern dewasa ini adalah ketidakseimbangan antara cara bertindak dan cara berpikir sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa. 

2.3       Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat.


            a.         Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
            Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme adalah nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia hidup dalam roh (Yudi Latif, 2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut. (Lihat Negara Paripurna, Yudi Latif).
1.                   Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial (Yudi-Latif, 2011: 57--59). 
2.                   Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).
3.                   Sila Persatuan Indonesia.
 Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif, 2011:377). 
4.                       Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara republik Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi (Yudi-Latif, 2011: 387--388).
5.                       Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493--494).

b.         Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama, masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup, Way of life yang terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.
Kelompok pertama memahami sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dalam pandangan hidup atau kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks agama, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius karena perkembangan kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme, dinamisme, politeistis, hingga monoteis.
Pancasila sebagai sistem filsafat, menurut Notonagoro merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan utuh yang yang saling terkait dan saling berhubungan secara koheren. Notonagoro menggambarkan kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila itu dalam bentuk kesatuan dan hubungan hierarkis piramidal dan kesatuan hubungan yang saling mengisi atau saling mengkualifikasi. Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang hierarkis piramidal digambarkan Notonagoro (1980: 110) dengan bentuk piramida yang bertingkat lima, sila Ketuhanan Yang Maha Esa berada di puncak piramida dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai alas piramida. Rumusan hierarkis piramidal itu dapat digambar sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjiwai dan meliputi sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjiwai dan meliputi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, menjiwai dan meliputi, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan, 2003: 6061).
 Kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila yang saling mengkualifikasi atau mengisi dapat digambar sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah KETUHANAN yang berKemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Persatuan Indonesia, berKerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah KEMANUSIAAN yang berKetuhanan Yang Maha Esa, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia adalah PERSATUAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah KERAKYATAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah KEADILAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan, 2003: 61).

c. Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
     Pada awalnya, Pancasila merupakan konsensus politik yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat. Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011. Wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat mengemuka ketika Soekarno melontarkan konsep Philosofische Grondslag, dasar filsafat negara. Artinya, kedudukan Pancasila diletakkan sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaran kehidupan bernegara di Indonesia. Soekarno dalam kuliah umum di Istana Negara pada 22 Mei 1958 menegaskan tentang kedudukan Pancasila sebagai Weltanschauung dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa (Soekarno, 2001: 65).


PENUTUP

Pancasila sebagai sistem filsafat sudah dikenal sejak para pendiri negara membicarakan masalah dasar filosofis negara (Philosofische Grondslag) dan pandangan hidup bangsa (weltanschauung). Meskipun kedua istilah tersebut mengandung muatan filsofis, tetapi Pancasila sebagai sistem filsafat yang mengandung pengertian lebih akademis memerlukan perenungan lebih mendalam. Filsafat Pancasila merupakan istilah yang mengemuka dalam dunia akademis.
Ada dua pendekatan yang berkembang dalam pengertian filsafat Pancasila, yaitu Pancasila sebagai genetivus objectivus dan Pancasila sebagai genetivus subjectivus. Kedua pendekatan tersebut saling melengkapi karena yang pertama meletakkan Pancasila sebagai aliran atau objek yang dikaji oleh aliran-aliran filsafat lainnya, sedangkan yang kedua meletakkan Pancasila sebagai subjek yang mengkaji aliran-aliran filsafat lainnya. Pentingnya Pancasila sebagai sistem filsafat ialah agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik; agar dapat dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam penyelenggaraan negara; agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dan agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. 


DAFTAR PUSTAKA 

Abdulgani, Roeslan. 1979. Pengembangan Pancasila Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.

Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Muzayin. 1992. Ideologi Pancasila (Bimbingan ke Arah Penghayatan dan Pengamalan bagi Remaja). Jakarta: Golden Terayon Press.

Oetojo Oesman dan Alfian (Eds). 1991. Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat,.

Prawirohardjo, Soeroso, dkk. 1987. Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu.Yogyakarta: Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat.

Comments

Popular posts from this blog

ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ORGANISASI PENDIDIKAN : JENIS DAN STRATEGI PENGUATAN

IPTEK dan Seni Dalam Pandangan Islam