Pendahuluan
Nabi Muhammad saw pernah menyatakan
bahwa urusan duniawi diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam, karena
mereka dianggap lebih mengetahuinya. Ia pun menyatakan bahwa iman
seseorang itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang.
Semua orang bersepakat bahwa kehidupan
sosial tidaklah statis, tetapi selalu berubah secara dinamis. Tetapi,
tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam mengartikan perubahan
soial, bahkan konsep perubahan sosial sempat diberi makna
intuatif dan sebagai suatu
mitos belaka. Suatu cara pandang
konservatif
menganggap bahwa perubahan sosial sebagai suatu penyimpangan sosial.
Yang termasuk ke dalam aliran konservatif ini adalah paradigma
struktural-fungsional. Dalam melihat perubahan, aliran ini lebih
memperhatikan struktur daripada proses, dan ketika sampai pada analisis
proses pun ternyata yang dikaji hanya kondisi struktural yang sempit.
Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam
memahami perubahan sosial. Pemaknaan konsep perubahan sosial pun hingga
kini masih menjadi problem.
[77]
Tulisan ini mengangkat Gerakan Neomodernisme di Indonesia dengan menyoroti pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
Perpaduan Tradisionalisme dan Modernisme
Seorang Indonesianis asal AS, Greg
Barton, telah menulis sebuah artikel yang menyoroti eksistensi pemikiran
neomodernisme yang diasosiasikan kepada kedua intelektual muslim,
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Artikel yang diberi judul “
Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama:
The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”,
menguji pengaruh gerakan pemikiran neomodernisme sebagai sebuah gerakan
pemikiran Islam baru di Indonesia yang muncul secara kontroversial pada
permulaan tahun 1970-an – terhadap perkembangan pemikiran keislaman,
khususnya di kalangan intelektual muda muslim.
[78]
Paper Greg Berton ini mempertegas bahwa gerakan pemikiran baru ini
hadir dengan memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan pendidikan
Barat. Gerakan pemikiran ini dikembangkan oleh generasi pemikir yang
berlatar belakang tradisionalis. Semasa mudanya mereka mengenyam
pendidikan keagamaan pesantren dan pergi untuk mengadopsi corak
pemikiran Barat modern dan perguruan tinggi.
Meskipun secara geografis berada di
pinggiran, namun secara objektif tidak dapat lagi dikatakan kurang
berperan dalam dunia Islam. Dengan jumlah penduduk melebihi 200 juta, 88
persennya (sekitar 175 juta) adalah muslim, Indonesia dianggap sebagai
negara muslim terbesar. Namun demikian, 60 persen penduduk Islam
Indonesia di Jawa perlu diteliti karena sebagian corak keberagamannya
masih dicampuri elemen-elemen pra-Islam seperti Hindu-Buddha dan
kepercayaan animisme. Contoh klasik tentang penelitian ini dapat dilihat
dalam buku terkenal Clifford Geertz,
The Religion of Java.
Meskipun dalam buku itu Geertz memberikan deskripsi secara mengagumkan
tentang kehidupan suatu kampung di Jawa Timur pada tahun 1950-an, namun
ia membuat beberapa kesalahan serius dalam analisisnya.
[79]
Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam
tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional telah siap menghadapi
tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode ini aktivitas partai
politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa
ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para
pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan
organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka
sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan
bergandengan tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi
pendudukan Jepang dan sama-sama berjuang demi kemerdekaan. Persatuan
politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952 dengan keluarnya NU
dan memunculkan NU sebagai partai politik independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam
peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas memolarisasi pemikiran
keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan
modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul
dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim,
yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun
komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari
kelompok modernisme di Indonesia adalah memperluas semaksimal mungkin
kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari kalangan
modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas
pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika
berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa
intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam
klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar.
Di antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan
modern dan berbagai pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar
Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan
pemikiran keislaman di Indonesia ketika para alumni pesantren dari
lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki
dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman
Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi
keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara
bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya.
[80]
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan
sistem IAIN dalam mereformasi Islam benar-benar penting. Pembentukan
IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta
dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi
kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh
studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an IAIN tetap
mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara
pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi
lembaga yang mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan
pendekatan-pendekatan kajian modern. Dengan masuknya Harun Nasution di
IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di IAIN Sunan Kalijaga pada akhir
tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan
mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar
keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman.
Sebagai generasi tua, merekalah yang
membukakan jalan bagi generasi muda pemikir-pemikir Islam untuk tampil
ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai representasi
utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang lahir pada tahun
1939 dan Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah orang-orang
yang tengah memasuki usia remaja saat Soeharto muncul sebagai penguasa.
Neomodernisme
Gerakan Neomodernisme berkembang pada
akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar
belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini merupakan generasi pertama
dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi
dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang
berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan
keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa
yang berorientasi modern (HMI).
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan
merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran Islam. Namun, gerakan itu
akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti paradigma
gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh
ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya statemen Nurcholish
Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya
menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga
perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu
menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga
dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak.
Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik
oleh kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan
intelektual para senior telah mandek dan perlu direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah.
[81] Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin meningkat.
[82]
Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada
Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan
dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan
kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam
perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu
mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam
di Indonesia semakin meluas antara lain berkat bergabungnya para
intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam
Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid
sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan
gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di
bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan
Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex
di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami
perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite
Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
Profil Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid
1. Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid
adalah pelopor pembaruan dan memiliki garis keturunan dari keluarga
seorang pembaru. Ayah Nurcholish Madjid, Abdul Madjid ayah Abdurrahman
Wahid, Wahid Hasyim adalah kawan dekat dam memiliki hubungan keluarga
melalui jalur perkawinan. Keduanya merupakan tokoh terkemuka di
masyarakat Muslim tradisional di Jombang Jawa Timur, salah satu pusat NU
terpenting. Abdul Madjid memilih tetap tinggal di Jombang dan tetap
berafiliasi dengan Masyumi, meskipun NU keluar dari Masyumi pada tahun
1952. Sedangkan Wahid Hasyim mengikuti jejak sang ayah Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan menjadi tokoh nasional melalui kepemimpinannya di NU.
[83]
Pendidikan yang dilalui Nurcholish
Madjid sejak anak-anak cukup lengkap. Ia pergi ke Sekolah Rakyat pada
waktu pagi untuk memperoleh pendidikan sekuler dan pergi ke Madrasah
al-Wathaniyah pada sore hari untuk memperoleh pendidikan keagamaan. Dia
selanjutnya belajar di Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang selama dua
tahun, belajar di Pesantren Gontor selama 6 tahun, IAIN Syarif
Hidayatullah, dan meraih gelar master dan Doktor di Universitas Chicago.
Gebrakannya di kancah pemikiran diawali pada ranggal 3 Januari 1970 saat memimpin HMI dengan meneriakkan adagium Islam yes! Partai Islam no! Idenya
ini menekankan bahwa Islam tidak memiliki gagasan tentang negara Islam.
Ide-ide pembentukan negara Islam di era modern tak lebih dari respons
apologis rerhadap Barat, bukan hasil interpretasi rasional terhadap
ajaran Islam. Baginya, tak bijak kalau kita beraktivitas di parpol
dengan menjauhi pelayanan sosial. Jadi, perjuangan Islam bisa lewat
jalur non-politik.
Yang menarik untuk dicermati pada sosok
Nurcholish Madjid adalah ketika dia berkampanye untuk PPP pada pemilu
1977. Alasan dia mendukung PPP pada waktu itu adalah Indonesia
memerlukan partai oposisi yang kuat dan sebagai konsekuensinya PPP dan
PDI memerlukan kekuatan supaya bisa menjadi kekuatan penyeimbang
terhadap dominasi Golkar. Politik Indonesia mirip becak dengan tiga
rodanya. Dia perlu memompa ban kempes agar dapat berjalan kembali.
Sepulang dari studinya di USA (1984)
Nurcholish Madjid menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan menjadi figur kunci dalam proses reformasi IAIN yang telah
digagas Harun Nasution. Di bidang pemikiran, Nurcholish Madjid mulai
mengelaborasi konsep-konsep pembaruan yang pernah dikemukakannya dan
mengetengahkan hal-hal baru bagi umat. Sikap anti-tradisionalisme
misalnya, belakangan dimaknai bukan dengan menggantikan nilai-nilai lama
dengan nilai-nilai baru, melainkan bahwa tradisi dan modenitas adalah
proses kontinuitas. Meninggalkan tradisi lama, kata Nurcholish Madjid
akan menimbulkan fitnah jump to conclusion (kesimpulan yang
melompat) karena mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar
belakangnya. Gejala inilah yang menghinggapi kaum modernis Islam
sekarang. Dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, Nurcholish Madjid
lagi-lagi mengkritik bahwa kaum modernis Islam terancam mengalami intelctual impoverisment (pemiskinan intelektual).
Dalam pcngamatan Nurcholish Madjid, kaum
modernis dalam pemikiran-pcmikirannya sering kali terjebak pada proscs
pengambil alihan konsep-konsep Barat. Atas dasar ini, Nurcholish Madjid
menganjurkan perlunya menumbuhkan tradisi intelektual yang autentik dan
integral sejalan dengan kaidah klasik
al-muhafadhatu ala qadim al-shalih wal akhdzu bi al-jadidi al-aslah (mengambil nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik).
[84]
Ide-ide pembaruan Nurcholish Madjid
semakin meluas ke berbagai kalangan berkat organisasi Paramadina yang
dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina sebagai organisasi
sosio-pendidikan menjalankan kuliah-kuliah umum dengan jadwal teratur,
membuat jaringan kajian program seminar akhir pekan, dan sejenisnya.
Organisasi itu berhasil menarik perhatian sebagian elite berpengaruh
Jakarta dan mendorong para profesional abangan perkotaan, kalangan
pengusaha, pegawai negeri, dan mahasiswa untuk memiliki kepercayaan
agama yang lebih kokoh, lebih mendalami pengetahuan Islamnya, dan
berpandangan progresif rentang peran agama di masyarakat. Dapat
dikatakan, Paramadina adalah lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi
mirip tradisi pesantren atau madrasah akhir abad ke-20.
Paradigma neomodemisme tampak jelas pada
misi yang diemban Paramadina. Seperti dikatakan pendirinya, Nurcholish
Madjid, Yayasan Paramadina adalah lembaga pendidikan yang secara penuh
memercayai bahwa nilai-nilai Islam universal dapat dibuat konkret dalam
konteks tradisi lokal serta keislaman dan keindonesiaan yang jelas-jelas
berpadu. Yayasan Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang
kreatif, konstruktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa
bersikap defensif atau bahkan reaksioner. Untuk tujuan ini, kegiatan
intinya diarahkan pada pembangunan kemampuan rnasyarakat dalam menjawab
tantangan abad ini dan memberikan sumbangan bagi tumbuhnya tradisi
intelektual. Upaya ini dimaksudkan untuk menginvestasikan sumber-sumber
penting dalam pengembangan mutu dan kemampuan ilmiah. Sebagai
konsekuensinya, program aktivitas intinya adalah menumbuhkan pemahaman
Islam secara luas, benar, penuh semangat keterbukaan, dan bersama
menyebarkan gagasan-gagasan yang menekankan nilai-nilai keadilan,
keterbukaan, dan demokrasi.
Ide-ide neomodernisme ini semakin
memperoleh tempatnya dengan dibukanya KKA (Klub Kajian Agama) yang
pertama pada bulan Oktober 1986 dan menerbitkan hasil-hasil seminar KKA.
Pada tahun 1992, Paramadina menerbitkan ontologi Makalah KKA Nurcholish
Madjid dengan diberi judul
Islam Doktrin dan Peradaban, yang disusul dengan penerbitan buku-buku lain.
[85]
Pemikiran neomodernisme Nurcholish
Madjid secara nyata telah mempengaruhi para neomodernis muda yang lain
dan memberikan inspirasi bagi upaya penyebarluasan gagasan pembaruan
pemikiran. Di Jakarta, Dawam Rahardjo yang memimpin LSAF (Lembaga Studi
Agama dan Filsafat) menerbitkan jurnal
Ulumul Qur’an dan Masdar
Farid Masudi menjalankan NGO yang bernama PSM (Perhimpunan Perkembangan
Pesantren dan Masyarakat). Di Yogyakarta kalangan muda neomodernisme
yang berlatar belakang NU berhimpun dalam wadah LKiS. LKiS adalah salah
satu represenrasi angkatan muda NU yang berhasil melakukan gerakan
pembaruan pemikiran Islam dan aksi sosio-kultural baik dalam wilayah
internal NU maupun di luarnya.
[86]
Wacana agama yang dikembangkan LKiS adalah Islam transformatif dan
toleran. Kegiatan mereka dalam menyebarluaskan pemikiran keislaman yang
inklusif sedikit banyak terinsipirasi oleh pemikiran pembaruan
Nurcholish Madjid di samping tokoh idola mereka, Abdurrahman Wahid.
2. Abdurrahman Wahid
Sebagaimana diuraikan di muka,
Abdurrahman Wahid adalah tokoh lain di luar Nurcholish Madjid yang
berperan penting dalam proses penyebaran gagasan neomodernisme di
Indonesia. Abdurrahman Wahid lahir pada tahun 1940 di Jombang. Dia
pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)
Yogyakarta pada tahun 1953-1957, Pesantren di Tegalrejo (1957-1959) dan
Pesantren Krapyak Yogyakarta(1959-1963).
[87]
Dia pernah mengajar di Pesantren Tambak
Beras. Selesai menempuh pesantren, Ia melanjutkan kuliah di Universitas
Kairo (1964-966), dan kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas
Baghdad (1966)
Dia akrab dengan berbagai tulisan,
sebagian besar karya-karya fiksi berbahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan
Prancis sejak di Pesantren Tambak Betas. Dia membaca secara kritis
karya-karya filsafat, sosial, polirik, dan agama. Dia bercita-cita bisa
menempuh pendidikan formal dan meraih gelar di perguruan tinggi Eropa.
Namun cita-citanya tidak bisa terwujud, karena dia tidak menemukan
sebuah lembaga pendidikan di Eropa yang menghargai minatnya terhadap
kajian Timur-Tengah.
Abdurrahman Wahid sejak muda sudah
terbiasa berinteraksi dengan masyarakat secara luas berkat dukungan
keluarga dan kegiatan ayahnya di bidang keagamaan dan perpolitikan
nasional yang cukup menonjol. Sang ayah, KH. Wahid Hasyim nampaknya
mendorong dia untuk bergaul dengan berbagai tokoh, baik dari lingkungan
NU maupun di luar NU termasuk dengan kalangan non-Muslim.
Sepulang dari Timur Tengah pada tahun
1971, Abdurrahman Wahid langsung melibatkan diri dalam dunia pesantren
dan mengendalikan berbagai posisi dipesantren. Pada tahun 1972-1974, dia
diangkat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim
Asy’ari Jombang, Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng (1974-1980) dan
memimpin Pesantren Ciganjur Selatan (1978). Mulai tahun 1978, dia
melibatkan diri dalam kepemimpinan NU pada level Nasional dengan jabatan
Katib Syuriah (1979). Pada tahun 1983 bersama KH. Achmad Shiddiq, dia
tampil dalam pucuk kepemimpinan NU setelah KH. Idham Chalid menyerahkan
kepemimpinannya pada bulan Mei 1982. Kudeta diam-diam meski berjalan
sukses dalam perkembangannya membuat NU terbelah menjadi dua kelompok.
Satu kelompok sebagai pendukung Idham, yang dikenal dengan kelompok
Cipete sedangkan kelompok yang lain adalah kalangan reformis yang
menentang Idham, yang dikenal dengan kelompok Situbondo. Pada Desember
1984, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah dan KH.
Achmad Shiddiq sebagai Rais ‘Am-nya.
[88]
Di awal kepemimpinannya di NU,
Abdurrahman Wahid mendapat sambutan hangat dari pemerintah karena dia
dianggap sebagai tokoh yang menyuarakan pandangan moderat dan
stabilitas. Akan tetapi dalam perkembangannya dia dianggap sebagai figur
oposisi yang mengganggu dan meresahkan pemerintah. Apalagi serelah
terang-terangan dia bersama Djohan Effendi, 43 intelektual lainnya, dan
para tokoh masyarakat yang lain mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) pada
bulan Maret 1995 Fordem dibentuk untuk memperjuangkan pembaruan
demokrasi di Indonesia sekaligus menentang kecenderungan berkembangnya
sektarianisme dalam masyarakat.
Sesuai dengan namanya, Forum Demokrasi
dimaksudkan sebagai lembaga think-tank yang mempunyai pengaruh dan
kelompok lobi yang mendiskusikan ide-ide demokrasi liberal dan cara-cara
merealisasikannya dalam masyarakat Indonesia. Keanggotaannya menyebar
dengan memadukan para tokoh agama dan intelektual dari berbagai kelompok
dan tradisi agama di masyarakat Indonesia.
Abdurrahman Wahid dalam berbagai forum
gencar menyampaikan kritik terhadap gaya otoritarianisme pemerintahan
Presiden Soeharto dan memberikan statement secara terbuka tentang
perlunya reformasi kehidupan demokrasi. Sebagai akibatya, dia
benar-benar ditekan secara politis oleh penguasa Orde Baru. Sejak saat
itu, Abdurrahman Wahid tampil sebagai sosok aktivis Muslim yang dianggap
sebagai ancaman bagi rezim penguasa.
Kehadiran Abdurrahman Wahid di NU telah
menorehkan berbagai prestasi besar khususnya di bidang pemikiran. Hal
ini tampak ketika perhelatan Munas Situbondo yang digelar Desember 1983.
Pada Munas yang dikenal sebagai permulaan reformasi di tubuh NU itu,
moncul keinginan dan peserta untuk kembali ke Khittah 1926 Keinginan
kembali ke semangat para pendiri NU (Khittah 1926) ini secara umum
dipahami untuk tiga tujuan.
Pertama, NU ingin meninggalkan partai politik dan berkonsentrasi sesuai tugas aslinya sebagai organisasi sosial pendidikan.
Kedua, kepemimpinan
asli dalam organisasi NU harus dipegang oleh ulama, tidak dipegang oleh
politisi sebagaimana direpresentasilcan oleh Idham.
Ketiga, NU ingin kembali memusatkan diri dalam membantu pengembangan sosial, ekonomi, dan pendidikan warganya.
[89]
Gagasan reformasi NU ini dirumuskan oleh
Majelis 24. Majelis ini mulai bekerja pada tahun 1983 dengan
beranggotakan para intelektual dan aktivis muda NU seperti Abdurralunan
Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Muchit Muzadil, Fahmi Saefudin, dan
didukung oleh para ulama progresif seperti KH. Achmad Shiddiq, KH.
Musthofa Bisri dan KH. Sahal Mahfud. Dari tim besar ini, kemudian
dibentuk Tim tujuh yang bertugas merumuskan apa yang dimaksud
khittah 1926, dengan Abdurrahman Wahid sebagai salah seorang anggotanya.
Akhirnya pada Muktamar Situbondo 1984. NU menerima khittah l926 sebagai
garis perjuangan NU. Dalam Muktamar ini Abdurrahman Wahid dipilih
scbagai Ketua Tanfidziyah dan KH. Achmad Shiddiq ditetapkan sebagai Rais
‘Am-nya.
Lima tahun berikutnya, ketika Muktamar
NU ke-28 digelar di Krapyak Yogyakarra pada tahun 1989, Abdurrahman
Wahid terpiih kembali sebagai Ketua Tanfidziyah, namun menghadapi
penentangan yang signifikan. Beberapa peserta muktamar mempertanyakan
statemen Abdurrahman Wahid tentang penggantian salam persahabatan umat
Islam Assalamu’alaikum dengan selamat pagi. Namun
lagi-lagi dia berhasil menjelaskan persoalan sebenarnya. Menunut
Abdurrahman Wahid, kata selamat dalam bahasa Indonesia sama artinya
dengan kata salam dalam bahasa Arab, sehingga kata selamat pagi harus dipahami sama artinya orang Indonesia dapat menenima assalamu ’alaikum.
Secara normarif, kata Abdurrahman Wahid,
ucapan salam dalam shalat wajib hukumnya. Tetapi secara budaya, ucapan
salam ini bisa digantikan dengan
selamat pagi dan sebagainya.
Pendapat ini dalam pandangan Abdurrahman Wahid analog dengan ucapan
shabahul khair yang artinya tidak berbeda dengan ucapan assaamu ’alaikum
yang sering digunakan di negara-negara Arab. Dengan demikian, ucapan
selamat pagi sebenarnya merupakan bentuk pribumisasi dari assalamu
’alaikum yang digunakan dalam konteks budaya. Cara seperri ini, ungkap
Abdurrahman Wahid, akan menampung dua kebutuhan.
Pertama, kebutuhan adaptasi kukural kepada adar-istiadat yang selama ini benjalan.
Kedua, kebutuhan untuk memelihara ajaran formal agama.
[90]
Sebagian peserta yang hadir dalarn
Mukramar NU ke-28 di Krapyak juga mengemukakan keberatan atas sikap
Abdurrahman Wahid yang secara terang-terangan menentang pemerinrah.
Sikap ini dianggap akan menciptakan disharmoni NU dengan Pemerintah.
Semua keberatan itu dijawab secara tuntas o!eh Abdurrahman Wahid dengan
menggunakan argumentasi yang didasarkan pada fiqilt
Sikap kurang non-kompromistis
Abdurrahman Wahid dengan penguasa secara nyata ditunjukkan dengan
penolakannya untuk masuk ICMI ketika organisasi ini dibentuk pada tahun
1990. Menurut Abdurrahman Wahid, ICMI merupakan representasi organisasi
yang mengembangkan sektarianisme. Oleh karena itu, dia menolak masuk
ICMI sebagai konsekuensi pada silcapnya yang menentang bahaya
sektarianisme dan menentang pertumbuhan sektarianisme pada masyarakat
Indonesia.
Sikap antisektaranisme Abdurrahman Wahid
juga tecermin dengan pembelaannya terhadapArswendo Atmowiloto (Editor
Majalah Kristen Monitor) yang merilis hasil poling yang meletakkan
posisi Nabi Muhammad pada urutan kesebelas di bawah posisi Presiden
Soeharto (urutan pertama) maupun tokoh-tokoh lain.
Hingga akhir 1991 dan awal 1992,
Abdurrahman dan NU ditekan secara terus-mcnerus oleh Pemerintahan
Soeharro. Dalam keadaan seperti ini, NU menyelenggarakan Rapat Akbar
yang dihadiri ratusan ribu warganya dengan berjanji akan terus setia
kepada Pancasila. Dengan manuver ini, seolah NU menekan pemerinrah
sehingga tak dapat mengabaikan kekuatan NU. NU sebagai organisasi rakyat
kccil trerbesar, organisasi non-pemerintah, tetap dianggap sebagai
kekuatan signifikan. Dengan cara itu, Abdurrahman Wahid dan NU dapat
memainkan peran penting dalam mengendalikan stabiitas sosial dan
kerukunan dalam masyarakat. Selain itu, Abdurrahman tampil selaku figur
penting yang tak diragukan komitmennya sebagai scorang moderat dan
liberal dalam mempertahankan kerukunan sosial dalam masyarakat Indonesia
yang piuralistik.
[91]
Dalam membahas sisi intelektualitas
Abdurrahman Wahid, rasanya kurang lengkap jika tidak menyinggung dua
gagasan yang diwacanakannya. Pertama, Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio kultural dan politik Indonesia. Kedua, gagasan pribumisasi Islam.
Dimensi pertama dari gagasan Abdurrahman
Wahid ini merupakan seruan kepada rekan-rekannya sesama Muslim untuk
tidak menjadikan Islam sebagai ideologi alrernatif terhadap konstitusi
negara-bangsa Indonesia yang sudah ada sekarang. Dalam pandangannya,
sebagai satu komponen penting dari struktur sosial Indonesia, Islam
tidak boleh menempatkan diri dalam posisi yang bersaing vis-a-vis
komponen-komponen lainnya. Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai
unsur komplementer dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik
negeri ini. Upaya menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif
arau pemberi warna tunggal hanya akan membawa perpecahan dalam
masyarakat secara keseluruhan mengingat corak sosial kita yang beragam.
Dimensi kedua dari gagasan Abdurrahman
Wahid adalah pribumisasi Islam. Menurutnya, pribumisasi Islam bukanlah
Jawanisasi atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal (Indonesia) dalam merumuskan
hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendini. Pribumisasi Islam
bukan berarri meninggalkan norma-norma kcagamaan demi budaya, namun agar
norma-norma ini menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan
mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash
a1-Quran.
[92]
Menurur Abdurrahman Wahid, pribumisasi
Islam adalah rekonsiliasi antara budaya dan agama. Rekonsilasi ini
menuntut umat Islam memahami wahyu dengan mempertimbangkan fàktor-fakror
kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Maka
beberapa argumen yang dikemukakan Abdurrahman Wahid dalam mempertahankan
tawaran pribumisasi Islam. Pertama, alasan historis bahwa
pnibumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam baik di negeri
asalnya maupun di negana lain termasuk Indonesia. Di sini menunjukkan
bahwa Islam rnengalami proses pergulatan dengan kenyataan-kenyaraan
historis. Proses ini, kata Abdurrahman Wahid, tidak mengubah Islam
tetapi mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqih dengan adat. Dalam kaidah fiqih dikenal misalnya al-’adah muhakkamah
(adat-istiadat menjadi hukum). Dalam hal ini kata Abdurrahman Wahid,
adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan
aplikasinya.
Temuan-Temuan dan Penutup
Nurcholish Madjid dan Ahdurrahman Wahid
adalah intelektual neomodernisme. Neomodernisme ini jika dilacak
asal-asulnya bersumber dari paradigma pemikiran Fazluiur Rahman. Rahman
sendiri memetakkan empat gerakan pembaruan Islam yang pernah muncul
sepanjang dua abad dalam dunia Islam. Pertama, gerakan revivalisme Islam, yang ditandai dengan gerakanWahabisme dan Sanusisme. Kedua, gerakan modernisme Islam atau modernisme klasik. Ketiga, gcrakan neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme. Keempat, gerakan neomodernisme.
Gerakan terakhir ini muncul di kalangan intelektual muda yang ingin
kembali pada semangat modernisme awal, namun mencari kombinasinya dengan
warisan kekayaan keilmuan Islam klasik.
Neomodernisme muncul sebagai respons
terhadap berbagai kelemahan yang melekat dalam gerakan pembaruan
sebelumnya. Menurut Fazlur Rahman, meskipun modemisme klasik benar dalam
semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan.
Pertama, ia belum menguraikan
secara tuntas metodenya yang semi-implisit terfokus dalam menangani
masalah-rnasalah khusus dan belum menguraikan implikasi da
prinsip-prinsinp dasar yang dibangunnya. Mungkin lantaran perannya
sebagai reformis terhadap masyarakat Muslim dan sebagai
kontroversialis-apologetik terhadap Barat telah menjadikannya terhalang
untuk melakukan inrerpretasi sistematis dan menyeluruh terhadap Islam
dan menyebabkannya membahas beberapa masalah penting di Barat secara ad hoc.
Kedua, masalah-masalah ad hoc
yang dipilihnya merupakan masalah-masalah bagi dunia Barat sehingga
terdapat kesan yang kuat bahwa para modernis klasik telah terbaratkan
dan merupakan agen-agen westernisasi.
Gerakan pembaruan harus selalu berjalan
dan metodenya harus selalu diperbarui dalam rangka mengembangkan pola
pemahaman keislaman yang dinamis-responsif dan menampung dimensi-dimensi
perubahan yang dialami umat manusia. Gerakan pembaruan sejalan dengan
prinsip Islam yang sangat mendorong pandangan-pandangan dinamis.
Gerakan pembaruan pemikiran Islam secara
umum ditandai dengan pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi
(Barat). Hasilnya berupa tawaran alternatif-alternatif non-Barat dalam
membangun dan rnembangkitkan umat Islam dari ketertinggalannya.
Kebangkitan Islam merupakan isu yang tumbuh dari sikap kritis para
pembaru Muslim dan di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual dan
sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme (Sayyed Hossein Nashr) dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernisme; neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam (Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Hassan al-Banna) dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta neomoderninne (Faziur Rahman) yang menampilkan citra revisionistik terhadap reformisme modernis.
Neomodernisme di Indonesia seperti
tercermin dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid
memiliki beberapa karakteristik.
Pertama, ia berwatak progresif.
Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif terhadap
pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis
dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa
optimis tentang ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi
jalannya perubahan sosial yang begitu cepat.
Kedua, neomodernisme seperti
halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap modernitas, gangguan
globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia Islam. Tidak
seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur,
neomodernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau
tidak menekankan identitas diri yang terpisah. Neomodernisme secara
cerdas dapat mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya
Barat bukan berarti hal itu tak dapat direkonsialisikan. Neomodernisme
ridak hanya membela ide-ide liberal Barat seperti demokrasi, hak-hak
asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara, namun menekankan bahwa
ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neomodernisme
Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus yang berdasarkan
Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan sektarianisme
keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan
agama dengan negara. Neomodernisme Indonesia berargumentasi bahwa
al-Quran dan Hadits tak berisi
blue print tentang negara Islam
atau tidak menetapkan bahwa negara agama adalah perlu atau mungkin. Atas
pemikiran ini, Nurcholish Madjid pernah melontarkan ide kontroversial
sekulariasi dan
desakralisme.
Sekularisasi adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah
duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya.
[93]
Keempat, neomodernisme
menghadirkan sebuah kererbukaan, inklusivitas, dan pemahaman liberal
Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan pluralisme
sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan
masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai
dengan semangat kembali pada abad modernisme (Muhammad Abduh) dengan
memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad ataupun upaya
individual dalam interpretasi
nash. Kalangan neomodernisme
mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan
kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan
interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan
budaya masyarakat akhir abad ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme
menyintesiskan tradisi keilmuan Islam, tuntutan modernis tentang
ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan. Mereka bisa
melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis
(pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab
dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara
simultan neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar
modernisme dan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis,
dan tuntutan Barat.
[94]
Daftar Pustaka
Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT Jawa Pos, 1989.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Comments
Post a Comment