A.
Mengapa Pendidikan Multikultural?
Pendidikan multicultural memiliki posisi yang sangat urgen baik
dalam wilayah social, ekonomi masyarakat maupun budaya, karena dalam pendidikan
multicultural mengandung unsure-unsur yang menekankan kepada bagaimana
seseorang harus berprilaku, bertindak, serta menjunjung tinggi semua nilai yang
ada dalam satu kesatuan baik masyarakat, bangsa, Negara atau bahkan dalam
wilayah internasional sekaligus. Menurut
Contrad P.Kottak (1989) Ada tiga wilayah kultur, ketiga wilayah tersebut antara
lain:
a.
Kultur
nasional
Maksudnya, beragam macam pengalaman,
sifat, dan nilai-nilai yang dipakai oleh semua warga negara dalam satu negara.
b.
Kultur
internasional
Maksudnya, bentuk-bentuk dari
tradisi kultur yang lebih luas dari wilayah nasional sebuah negara melalui
proses penyebaran (diffusion).
c.
Sub-Kultural
Maksudnya,
perbedaan karakteristik cultural dalam stu kelompok masyarakat.
Selain itu juga dalam pendidikan multicultural mempunyai beberapa
fungsi, fungsi tersebut antara lain:
1.
Menghindari
Terjadinya Etnosentrisme
Memberikan nilai negative terhadap
kultur orang lain, serta mengukur dan menghukum kultur orang lain berdasarkan
kultur yang dimilikinya.
2.
Menghindari
Terjadinya Prejudis dan Stereotip
Prejudis adalah penilaian terhadap
orang lain ataupun kelompok tanpa adanya pembuktian yang jelas. Sedangkan
stereotip adalah memberikan penilaian terhadap sifat-sifat sebagai cirri khusus
yang tipikal dan identical yang ada pada seseorang atau golongan masyarakat
tertentu.
3.
Menghindari
Terjadinya Diskriminasi
Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil terhadap orang atau
kelompok lain.
A.
Al- Qur’an dan Pluralisme Agama
Dalam Al- Qur’an tidak sedikit ayat yang berbicara mengenai tentang
pluralisme agama, misalkan saja:
“Dan jika Allah menghendaki niscaya Ia jadikan kalian satu umat,
akan tetapi Ia akan menguji kalian dengan apa yang Ia anugrahkan kepada kalian.
Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan. Kepada Allahlah tempat kembali
kalian semua dan Ia akan memberitahukan pada kalian tentang apa yang kalian
pertikaiakan.” (5: 48)
Gagasan bahwa keragaman manusia adalah
merupakan sebuah fenomena yang secara alamiah dilembagakan atau
sekurang-kurangnya disetujui, dengan jelas dikukuhkan. Begitu juga ayat di atas
menegaskan bahwa keputusan terahir berkenaan dengan berbagai perbedaan di
antara umat manusia adalah hak Tuhan untuk menetapkan di Hari Kemudian.
Selain itu juga dalam Al- Qur’an (2: 256) disebutkan “tidak
ada paksaan dalam agama” yang hal ini semakin menggugah bahwa, baik Al- Qur’an
maupun Sunnah Nabi tidak menuntut orang-orang Yahudi dan Kristen, agar mereka
menanggalkan identitasnya mereka menjadi muslim kecuali kalau mereka melakukan
dengan sepenuh hati (sukarela).
Al- Qur’an dan Sunnah Nabi tidak
hanya menganjurkan umat Islam akan tetapi juga umat-umat beragama lain untuk
ikut serta dalam dialog, kerja sama dan kesepakatan yang berguna atas dasar
prinsip “kata sepakat” (kalimat sawa) bahwa “kita tidak menyembah siapapun
kecuali Tuhan dan .. kita tidak memperlakukan satu sama lain sebagai tuhan-tuhan
selain Allah” (3: 64)
Pertanyaan yang sangat logis dan
dapat dijadikan sebagai koreksi diri sebagai umat Islam adalah bagaimana tidak
dalam Al- Qur’an diajarkan nilai-nilai dan prilaku untuk saling menghargai dan
menghormati orang atau kelompok yang tidak sepaham dengannya, namun dengan
tidak sadar Ia menolak gagasan mengenai konsep pluralis.
B.
Islam dan Pluralisme
“Bagi tiap orang dari kalian kami tetapkan hokum dan cara hidup.
Dan jika Allah menghendaki niscaya Ia jadikan kalian satu umat. Akan tetapi Ia
jadikan kalian dengan apa yang Ia anugrahkan kepada kalian. Maka
berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan. Kepada Allahlah tempat kembali kalian
semua, lalu Ia akan membritahukan pada kalian tentang apa yang kalian
pertikaikan.” (5: 48)
Ayat di atas sangat urgen untuk mendukung dalam pluralisme
beragama namun, sayangnya hal tersebut
kurang begitu mendapat perhatian yang serius oleh kalangan penguasa Muslim.
Banyak ahli tafsir modern mengomentari ayat penting tersebut. Bagian penting
dan berlaku dari ayat ini adalah: “ bagi tiap orang dari kalian kami
tetapkan hokum dan cara hidup. “ ungkapan “tiap orang dari kalian”
jelas menunjukkan komunitas yang berbeda-beda. Setiap komunitas jelasnya
komunitas agama atau budaya keagamaan mempunyai hokum mereka sendiri dan cara
hidup mereka sendiri dan memperoleh perkembangan keruhanian mereka sesuai
dengan hokum dan cara hidup mereka sendiri. Tekanan lebih jauh dalam bagian “Dan
jika Allah menghendaki niscaya Ia jadikan kalian satu umat”. Tidaklah sulit
bagi Allah menjadikan seluruh umat manusia menjadi satu umat. Akan tetapi Allah
menganugrahi kita pluralisme karena ia menambah kekayaan dan keragaman pada
kehidupan.
Allah telah menciptakan berbagai umat yang berbeda dengan tujuan :
mencoba dan menguji manusia tentang apa yang diberikan kepada mereka (yakni
kitab-kitabsuci, hokum-hukum, dan cara hidup yang berbeda). Dan ujian itu
adalah hidup dalam damai dan harmoni satu sama lainnya yang merupakan kehendak
Allah. Perbedaan hokum dan cara hidup tidak boleh menjadi penyebab ketidak
harmonisan dan pertikaian. Apa yang diinginkan dari umat manusia adalah hidup
dalam pebedaan dan berlomba-lomba satu sama lain dalam berbuat kebaikan.
C.
Mencari Landasan Pluralisme
Perlu disadari bahwa realitas bangsa Indonesia adalah plural dan
hal ini tak terbantahkan. Luas Indonesia dari sabang sampai merauke yang tidak
hanya diduduki oleh satu suku melainkan berbagai suku, budaya, dan agama salah
satu bukti bahwa negara Indonesia adalah majemuk. Pluralitas bukan merupakan
sebuah bentukan dari seseorang atau komunitas tertentu melalui budaya, social,
dan ekonomi yang sengaja diadakan, tetapi pluralitas adalah fenomena yang riil
sesuai kehendak Tuhan serta Islam sendiri pun mengakui adanya pluralitas. Hal
ini sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
“Jika Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang
mendapat rohmat dari Tuhan dan memang untuk itulah Allah menciptakan mereka.”
(S. Hud/11 :118)
Dilihat dari sudut manapun masyarakat Indonesia jelas adalah
masyarakat yang majemuk. Gagasan dari pluralitas masyarakat Indonesia tersebut
akhirnya menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah menghadapi kemajemukan tersebut?
Dalam pengertian Indonesia sebagai masyarakat majemuk, Nur Kholis
majid tidak berhenti pada pengakuan akan kemajemukan saja, melainkan lebih dari
itu. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan keadaban”. Jadi pluralisme diartikan sebagai suatu system nilai yang
memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan
menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan
itu.
Hal-hal
yang paling urgen untuk diperhatiakan dalam operasionalisasi :
a.
Dekontruksi
Absolutisme
Pluralisme mengharapkan
segala bentuk absolutism dihapuskan, karena absolutism cenderung akan membawa
pribadi seorang atau kelompok bersikap
eklusif, komunal, dan sempit. Klaim kebenaran dan pembenaran terhadap diri sendiri
tanpa memperhatikan orang lain baik itu dalam ruang lingkup agama dan entitas
akan menjauhkan bahkan menghilangkan dialog ilmiah.
b.
Penegasan
Relativisme
Relativisme disini buka berarti kebenaran yang yang terpaku pada
satu ruang dan waktu saja, melainkan setiap konteks memiliki kebenaran terkait
rudang dan waktunya. Kebenaran seperti ini tidak bias dimutlakkan, karena
setiap kebenaran memungkinkan untuk dapat didiskusikan dan didialogkan. Setiap
kebenaran adalah proses pencarian, dan pencarian adalah kenisbian. Jadi
relativisme dapat dibaca sabagai sikap terbuka dan masih mau belajar karena
sadar bahwa manusia tidak pernah bias memahami maksud dan kekayaan wahyu Allah
sehingga tidak secara arogan mengklaim kebenaran.
c.
Pembumian
Toleransi
Toleransi berarti setiap orang harus menghargai kemajemukan. Akan
tetapi toleransi disini bukan hanya tekait masalah bergaul yang enak antar
berbagai kelompok. Lebih dari itu, toleransi adalah persoalan penerapan prinsip
ajaran agama.
D.
Saran
Pada
intinya agama Islam mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi,
perdamaian, harmoni, menghargai dan toleran terhadap agama lain, hal ini
menuntut kita untuk berpikir ulang sebagai praktisi khususnya dibidang
pendidikan agama Islam untuk senantiasa merespon terhadap problema-problema
yang saat ini bermunculan baik dalam ruang lingkup masyarakat, daerah dan
negara terlebih lagi wilayah nasional dan internasional yang semua problem
tersebut mengatas namakan agama. Misalkan saja kasus pertikaian yang terjadi
antara umat beragama yang terjadi di sampit atau lebih sempit lagi kekerasan
dalam agama Islam di Madura antara sunni dan syi’ah. Disinilah tugas dari para
pendidik khususnya pendidik agama Islam untuk memberikan pengertian serta
pemahaman yang komplek terhadap peserta didik betapa penting pendidikan
multicultural dan pluralis dalam beragama.
Comments
Post a Comment