Pengantar
Seperti yang biasa
saya sampaikan dalam beberapa tulisan bahwa agama selalu mencakup dua
entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu
normativitas (teks, ajaran, belief, dogma) dan juga historisitas
(praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma tersebut dalam
kehidupan konkrit di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan
komunitas (organisasi sosial keagamaan; organisasi profesi),
masyarakat pedesaan (rural) atau perkotaan (urban), situasi konteks
politik (regim pemerintahan order lama, orde baru, dan orde reformasi),
jaman yang berbeda (abad tengah, modern, postmodern), tingkat
pendidikan yang berbeda ( Pesantren, MI, Mts, Aliyah, atau SD, SMP, dan
SMA dan lebih-lebih S 1, 2 dan 3 di perguruan tinggi dan otodidak),
pelatihan atau training (halaqah, tarbiyah, pengajian majlis taklim),
pendidikan umum dan pendidikan agama, pesantren kilat dan begitu
seterusnya. Bahkan sekarang ada yang merasa cukup lewat internet,
situs-situs, e book dan begitu seterusnya.Studi
Agama dan Studi Islam kontemporer perlu memperhatikan dua entitas
tersebut dengan cermat, sehingga para dosen, mahasiswa dan peminat studi
agama dan studi Islam tidak terkejut-kejut dan tidak perlu kecewa ,
apalagi marah-marah meluapkan emosi , jika terjadi dan menjumpai
“perbedaan tafsir keagamaan” pada level historisitas, meskipun
idealnya memang tak perlu adanya perpecahan karena bersumber dari
sumber ajaran normative yang sama, yaitu teks-teks atau nash-nash
al-Qur’an and al-Sunnah. Realitas seperti ini berlaku untuk semua
penganut agama-agama besar dunia, baik yang Abrahamik ( Yahudi,
Kristen, Islam) maupun agama-agama non Abrahamik (Hindu, Budha,
Konghucu, Sikh, Bahai dan lain-lain), serta tradisi-tradisi atau agama
lokal yang lain selain yang disebut diatas.
Lantaran rumit dan kompleknya situasi
yang dihadapi maka pendekatan antropologi terhadap agama
diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih
komprehensif tentang entitas dan substansi agama yang sampai
sekarang masih dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan
umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik
maupun budaya para penganutnya. Diperlukan ‘peta’ wilayah yang cukup
jelas sebelum masuk ke jantung kota yang sangat kompleks, minimal untuk
mengetahui jalan-jalan protokol supaya tidak tersesat jalan, shukur
kalau dapat diperoleh dan dilengkapi peta yang lebih detil sampai
menjangkau ke jalan-jalan kecil, gang-gang, nomor rumah yang dituju
dan begiutu seterusnya. Pendekatan antropologi terhadap entitas
keberagamaan dan entitas keilslaman adalah ibarat pembuatan peta yang
dimaksud. Pendekatan antropologi bersikap deskriptif, melukiskan apa
adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normative , dalam arti tidak
ada keinginan dari si pembuat peta untuk mencoret, menutup atau
tidak menggambar atau menampilkan alur jalan yang dianggap kira-kira
tidak enak atau berbahaya untuk dilalui. Pendekatan antropologi harus
bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan interes-interes atau
kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, agam, gender,
minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta (keagamaan manusia) apa
adanya. Disini bedanya dari corak pendekatan Teologi (dalam Kristen)
atau Kalam dan fikih (dalam islam) lama, yang kadang tidak ingin
menampilkan gambar dan peta keagamaan apa adanya karena adanya
interes-interes golongan keagamaan (sekte, madzhab, organisasi
keagamaan)- seperti penekanan pentingnya pada sejarah penyelamatan (salvation history)
yang ditawarkan oleh agama tertentu dengan mengesampingkan agama-
agama lain- sehingga peta atau gambar yang dibuat menjadi kabur dan
tidak begitu jelas untuk melihat agama-agama secara utuh-komprehensif.
Jika memang begitu, lalu apa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi
terhadao agama, atau sebutlah pendekatan antropologi agama?
Ciri fundamendal cara kerja pendekatan antropologi
Setidaknya
ada 4 (empat) ciri fundamendal cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama
. Pertama, bercorak
descriptive, bukannya normatif. Pendekatan antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (
field work),
berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati
dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang
biasa disebut dengan
thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dlakukan secara serius, terstuktur , mendalam dan berkesinambungan).
Thick description dilakukan dengan cara antara lain
Living in
, yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan
pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa
berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin
memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkansecara
akademik. John R Bowen, misalnya, melakukan penelitian antropologi
masyrakat muslim Gayo,di Sumatra, selama bertahun-tahun.
[1] Begitu juga dilakukan oleh para antropolog kenamaan yang lain , seperti Clifford Geertz.
Field note research
(penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan) dan bukannya studi
teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis
adalah andalan utama antropolog. Talal Asad menggambarkan kerja
antropologi sebagai berikut:
“Anthropologists who seek
to describe rather than to moralize will consider each tradition in its own term-even as it has come to be reconstituted by modern forces – in order
to compare and contrast it with others.
More precisely, they will try to understand ways of reasoning
characteristic of given traditions. Such anthropologists will also need
to suppress their personal distaste
for particular traditions if they are to understand them. Beyond that,
they should learn to treat some of their own Enlightenment assumptions
as belonging to specific kinds of reasoning- albeit kinds of reasoning
that have largely shaped our modern world- and not as the ground from
which all understanding of non-Enlightenment traditions must begin”.
[2]
Kedua, Yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi adalah
local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan.
[3]
Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan
tahunan, lebih –lebih ketika manusia melewati hari-hari atau
peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau
amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut
(rites de pessages)
? Persitiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan . Apa yang
dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan
yang sangat penting tersebut?
Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains).
Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan
politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan
kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir
tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri,
terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
Keempat,
comparative.
Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai
tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi
disini bahwa “What is distinctive about modern anthropology is
the comparisons of embedded concepts (representation) between societies differently located in time or space. The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western or non-Western), but
the forms of life that articulate them, the power they release or disable.”
[4]
Setidaknya, Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia
membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko. Bukan sekedar
untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk
memperkaya perspektif dan memperdalam bobot kajian. Dalam dunia global
seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi
perspektif baru baik dari
kalangan outsider maupun
outsider.
[5]
Meskipun menyebut local practices untuk era globalisasi sekarang adalah debatable,
tetapi ada empat rangkaian tindakan keagamaan yang perlu dicermati
oleh penelitian antropologi. Pertama, adalah bagaimana seseorang dan
atau kelompok melakukan praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan
keagamaan yang terkait dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan
budaya. Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”,
yang biasa dilakukan orang sebelum berangkat haji. Apa makna praktik
dan tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial,
ekonomi, politik dan budaya? Religious ideas yang diperoleh
dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana
tindakan ini membentuk emosi dan menjalankan fungsi sosial dalam
kehidupan yang luas?. Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan
di rumah tetapi juga di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh
karenanya, keterkaitan dan keterhubungan antara local practices, religious ideas,
emosi individu dan kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak
dapat dihindari. Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
Dengan demikian, pendeka an antropologi
dalam dalam studi Islam sangatlah diperlukan. Islam dimaksud disini
adalah Islam yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam
yang telah melembaga dalam kehidupan suku , etnis, kelompok atau
bangsa tertentu, Islam yang telah terinstitusionalisasi dalam
kehidupan organisasi sosial, budaya, politik dan agama . Islam yang
terlembaga dalam kehidupan masyarakat yang menganut madzhab-madzhab,
pengikut berbagai sekte, partai-partai atau kelompok-kelompok
kepentingan tertentu. Hasil kajian antropologi terhadap realitas
kehidupan konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya saling
pemahaman antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat
bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat
lokal, regional, nasional maupun internasional.
Praktik kehidupan, Konteks dan keanekaragaman
Dalam kacamata antropologi agama, agama adalah ‘Ideas
and practices that postulate reality beyod that which is immediuately available to the senses” [6]
(Agama adalah sekumpulan ide-ide atau pemikiran dan seperangkat
tindakan konkrit sehari-hari yang didasarkan atas postulasi atau
keyakinan kuat adanya realitas yang lebih tinggi berada di luar alam
materi yang biasa dapat dijangkau langsung dalam kehidupan materi).
Apa yang disebut agama, dalam praktiknya, memang sangat berbeda dari
satu masyarakat pemeluk agama tertentu ke masyarakat pemeluk agama yang
lain, baik yang menyangkut sistem kepercayaan yang diyakini bersama,
tingkat praktik keagamaan yang dapat melibatkan emosi para penganutnya,
serta peran sosial yang dimainkannya. Agama-agama Abrahamik dan
non-Abrahamik, dan lebih-lebih agama-agama lokal yang lain adalah sangat
berbeda dalam penekanan aspek keberagamaan ysng dianggap paling penting
dan menonjol. Ada yang menekankan pentingnya sisi ketuhanan (
deities atau
spirits), ada yang lebih menekankan kekuatan impersonal
(impersonal forces)
yang dapat menembus dunia alam dan sosial, seperti yang dijumpai di
agama-agama di Timur. Atau bahkan ada yang tidak memfokuskan pada sistem
kepercayaan sama sekali, tetapi lebih mementingkan ritual.
Pada umumnya, hasil
field note research
di lapangan dari berbagai kawasan, para antropolog hampir menyepakati
bahwa agama melibatkan 6 dimensi : l) perform certain activities
(Ritual), 2) believe certain things ( kepercayaan, dogma), 3) invest
authority in certain personalities (leadership; kepemimpinan), 4) hallow
certain text (kitab suci, sacred book), 5) telling various stories
(sejarah dan institusi) , dan 6) legitimate morality (moralitas). Ciri
paling menonjol dari studi agama – yang membedakannya dari studi
sosial dan budaya, adalah keterkaitan keenam dimensi tersebut dengan
keyakinan kuat dari para penganutnya tentang adanya apa yang disebut
dengan “
non-falsifiable postulated alternate reality” (Realitas tertinggi yang tidak dapat difalsifikasi)
[7]
Keenam dimensi keberagamaan tersebut jika dikontekskan dengan agama
Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut : 1) Ibadah, 2)
Aqidah, 3) Nabi atau Rasul, 4) al-Qur’an dan al-Hadis 5) al- Tarikh atau
al-Sirah dan 6) al-Akhlaq. Keenam dimensi tersebut lalu dikaitkan
dengan Allah (yang bersifat
non-falsifiable alternate reality) juga
.
Sebutlah ke enam dimensi tersebut – peneliti dan sarjana studi agama lain bisa menambah atau menguranginya – sebagai
General Pattern
dari agama-agama dunia, tetapi begitu keenam dimensi keberagamaan
manusia tersebut masuk ke wilayah praktik sehari-hari di lapangan, maka
ia akan masuk ke wilayah
Particular Pattern.
[8] Wilayah
Partcular Pattern dari agama-agama tersebut adalah ketika agama bergumul dan masuk dalam
dalam
konteks perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya, juga geografi,
perbedaan iklim dan kondisi alam yang berbeda-beda. Semuanya akan jatuh
ke wilayah diversitas atau kepelbagaian. Dalam pandangan studi agama,
lebih-lebih dalam perspektif antropologi agama, agama-agama di dunia
tidak ada yang sama. Kepelbagaian ada disitu. Dalam
local practices
dari ke enam dimensi tersebut, yang ada hanyalah kepelbagaian dan
keanekaragamaan. Tapi, dengan muncul dan tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya martabat kemanusiaan
(human dignity), maka para tokoh agama-agama tersebut juga menggarisbawahi pentingnya
General Pattern (atau, dalam bahasa Islam :
Kalimatun sawa)
[9] yang ada di balik diversifikasi
Partcular Pattern tersebut.
Penelitian dan studi antropologi agama akan sangat membantu memahami akar-akar kepelbagaian (
diversity)
dalam berbagai hal : kepelbagaian dalam menginterpretasi teks,
perbedaan ritual peribadatan, model-model kepemimpinan, perjalanan
kesejarahan, perkembangan kelembagaan agama, bagaimana pengetahuan dan
ide-ide ( gender, hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan)
didistribusikan dan disebarluaskan dalam masyarakat luas lewat
organisasi sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga pendidikan, bagaimana
keadilan dan kesejahteraan diperbincangkan. Akan dapat dijelaskan dan
direkonstruksi kembali bagaimana praktik keagamaan
(Local practices)
pada tingkat lokal dalam keterkaitannya dengan pelbagai macam
penafsiran oleh para tokoh (da’I, kyai, dosen, pemangku adat, tokoh
agama, guru, dosen) dan pemangku kepentingan lainnya serta akibatnya
dalam perbedaan kehidupan sosial. Dengan bantuan pendekatan
antropologi, semua kepercayaan agama terbuka untuk diperdebatkan dan
ditransformasikan kearah yang lebih baik-humanis. Dan ketika semua aktor
terlibat dalam perdebatan dan penjelasan tersebut , maka akan membawa
kepada pemahaman bahwa agama-agama sangat terbuka untuk
kemungkinan-kemungkinan
[10] baru yang lebih kondusif untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.
Studi Islam dan antropologi
Apa yang dibicarakan
diatas menenui relevansinya dengan perkembangan terakhir studi hukum
Islam dan usul fikih pada umumnya. Adalah Jasser Auda yang membuka
perspektif baru tentang bagaimana sesungguhnya peran para
jurist dan
fakih dalam menentukan corak, perbedaan interpretasi serta tingkat kedalaman pemahaman keagamaan.
[11] Diuraikan bahwa terjadi pergeseran pemahaman dan peran yang dimainkan oleh para
fuqaha dalam setiap jaman. Sebenarnya hal ini tidak baru, karena para
fuqaha
lama sudah menjelaskannya. Yang penulis anggap baru adalah cara
menjelaskan dan perangkat keilmuan yang diikutsertakan yang berbeda
dari uraian terdahulu. Para pembaca semakin disadarkan betapa
diversitas dan pluralitas pemahaman keagamaan itu adalah memang begitu
adanya dan perbedaan tafsir keagamaan adalah
min lawazim al hayah.
Jika realitasnya memang begitu, maka bagaimana cara para pemimpin agama
menyikapi dan mengantisipasinya? Bagaimana agama dijelaskan oleh para
guru agama, para kyai, para dosen, para tokoh dan pimpinan organisasi
sosial keagamaan di era global seperti sekarang ini ? Apakah fikih
aghlabiyyah (fikih mayoritas) harus berlalu pada wilayah fikih
aqalliyyah (minoritas), misalnya? Ada semacam
living Qur’an dan
living Sunnah atau Hadis yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Pada era fikih era tradisional digambarkan bahwa peran fakih (para ahli agama) dianggap sederajat dengan Syariah, dan seolah-olah sederajat pula dengan al-Qur’an dan al Sunnah (Prophetic tradition).Bahkan apa yang disebut Prophetic tradition
pun tidak atau belum dibedakan antar berbagai klasifikasi al-Hadis .
Hadis-hadis misoginik, misalnya, dijadikan satu atau sederajat dengan
hadis-hadis lain. (lihat ilustrasi dalam gambar 1).
Gambar 1
Sedangkan pada era fikih era modernitas, secara jelas sudah mulai dibedakan antara apa yang disebut Revealed Syariah, dengan al-Qur’an dan Prophetic tradition disatu sisi dan peran Fakih di sisi yang lain. Dalam wilayah Prophetic tradition juga
sudah dapat dipilah-pilah, mana Hadis yang matan nya dapat diterima dan
mana yang kiranya tidak dapat diterima, sesuai dengan perkembangan
pengetahuan dan literacy umat manusia. Sedang Fikih (pemahaman keagamaan Islam dan praktiknya di lapangan oleh seorang fakih) pun sudah jelas dimana tempatnya. Dia sudah jelas berada di luar wilayah apa yang disebut dengan Revealed Syariah. (lihat gambar 2).
Gambar 2

Sedangkan para era pemahaman fikih era postmodernitas, selain menggarisbawahi yang ada pada era Modernitas, tetapi peran fakih jauh lebih jelas lagi perannya dalam memahami agama. Yang baru disini adalah bahwasanya pemahaman para ahli hukum agama (jurist),
selain terinspirasi oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi dia
sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidupnya sendiri,
lingkungan yang ada disekitarnya, bahkan tingkap ilmu pengetahuan yang
dimiliki umat manusia saat itu. Faktor-faktor inilah yang ikut
membentuk pandangan hidupnya. (Competent Worldview). Sedang Competent worldview nya sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan (Sciences),
baik pengetahuan alam, sosial, budaya dan humanitas kontemporer yang
mengelilinginya). Artinya penafsiran teks-teks kitab suci dan juga
al-sunnah dan al-hadis sangat bersifat lokal. Yaitu lokal dalam arti
ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu pengathuan sang jurist
itu sendiri. Dan Fikih tidak bisa tidak adalah sangat ditentukan oleh
kondisi lokal (sosial, politik, budaya, ekonomi), ilmu pengetahuan yang
dikuasi oleh para ahli hukum agama (jurist) tersebut. (Lihat gambar 3).
Gambar 3
Dan sangat dimungkinkan munculnya
diversifikasi dan kepelbagaian interpretasi dalam beragama. Dalam
tingkat terakhir ini, menurut hemat penulis, pendekatan antropologi
agama dapat membantu dan bahkan bekerjasama dengan studi Islam untuk
menjelaskan dan melerai berbagai isu yang sulit dipecahkan atau
dijelaskan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja , apalagi
pendekatan kekuasaan, pendekatan mayoritas – minoritas, tanpa
mengaitkan dan mempertautkan antara Fikih dan Usulnya dengan
antropologi agama.
Cupuwatu, Yogyakarta, 12 Januari 2011
SUMBER: http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
[1]John R. Bowen, Religions in Practice: An Approach to the Anthropology of Religion, Boston, Allyn and Bacon,2002, h. 2
[2]Talal Asad, Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore and London, The Johns Hopkins University Press, l993, h.200. Garis bawah dari penulis.
[3]Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan
lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika
berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal), maka disinilah
masalah terbesar, untuk tidak menyebutnya denga ketegangan, dalam studi
Islam muncul. Dalam studi Islam, khususnya dari literatur hadis dikenal
istilah “bid’ah” – baik yang hasanah maupun sayyiah.Dengan
sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar dari ajaran
Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik lokal
inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk
dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih
utuh.
[4]Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modenity, Stanford, California, Stanford University Press, h.17, Cetak miring dari penulis.
[5]Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” , dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,
Tucson, The University of Arizona Press, l985, h. 196. Juga Kim Knott,
“Insider/Outsider perspectives” dalam John R. Hinnells, The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York, Routledge, 2005, h.243-255.
[6]Sudah barang tentu banyak sekali definisi agama yang diajukan oleh
para teolog maupun para ahli studi agama, dan lebih-lebih para
antropolog agama. Definisi tersebut diatas diambil dari John R. Bowen, op.cit, h. 5
[7]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London and New York, The Continuum International, Publishing Group, 2006, h.236.
[8]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin, “Islam and
Religious Studies: An Introductory Essay”, dalam Richard C. Martin (Ed.), ibid. , h. 7-8.
[9]Upaya baru yang digalakkan oleh para ulama dan muslim scholars di seluruh dunia untuk menggarisbawahi kembali General Pattern Kalimatun Sawa’ (Common Word) tersebut. Lebih lanjut Waleed El-Ansary and David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York, Palgrave Macmillan, 2010.
[10]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay” dalam Richard C. Martin (Ed.), ibid. h. 7-8.
[11]Jasser Auda, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London, The International Institute of Islamic Thought, 2008.
Comments
Post a Comment