Strategi dan Perencanaan Pengembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

  A.       Strategi Pengembangan Keagamaan Pada PAUD 1.        Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah SWT Diantara cara membimbing anak menuju akidah yang benar adalah dengan mendidik mereka untuk mencintai Allah. Pendidikan ini harus diberikan sejak   ini. Pada saat tersebut, mulailah mereka diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) yang terdekat disekitar mereka.   Selain itu, juga perlu diupayakan adanya keterikatan antara mereka dengan yang   telah menciptakannya, pemilik keagungan, pemberi nikmat, dan maha dermawan.   Dengan bentuk seperti ini anak pasti akan mencintai Allah (Rajih, 2008: 87-88) Rasa cinta kepada Allah beserta seluruh ciptaannya dapat diperkenalkan pada anak usia dini melalui pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik tersebut akan mengenalkan akan pada makhluk ciptaan Allah sekaligus mengenalkan anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dengan proses mengamati. Menciptakan rasa cinta kepada Allah juga diikuti oleh men

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KEJAWEN DI KRATON YOGYAKARTA

Author : Rizki Ramadhani M. Pd. I

A.      Pendahuluan
Pendidikan adalah proses yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat. Dalam memelihara kelanjutan hidupnya, manusia mewariskan berbagai nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.[1] Tujuan pendidikan sebagai pewarisan budaya adalah sebagai alat transmisi unsur-unsur kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda. Termasuk di dalamnya adalah pewarisan nilai-nilai moral yang dimiliki masyarakat kepada generasi muda, dengan harapan generasi muda mampu mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral leluhur sehingga dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran moral para leluhur.[2]
Surakarta dan Yogyakarta merupakan dua kerajaan dari kelanjutan Mataram abad ke-XVI dan menjadi pusat kebudayaan Jawa dan praja Kejawen saat ini. Kejawen adalah nilai-nilai yang telah diajarkan dan dilestarikan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun dengan Kraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai porosnya. Hal yang harus disadari adalah Kejawen merupakan warisan dari generasi ke generasi yang perlu disikapi dengan penuh simpati dan empati.
Kejawen sebagai ajaran yang sudah diwariskan secara turun-temurun, ternyata tidak sedikit ajarannya yang tetap kontekstual untuk dijadikan sebagai acuan pendidikan dewasa ini. Artinya, pendidikan yang dilaksanakan akan selalu terpengaruh dengan kemajuan zaman, tetapi akar kebudayaan bangsa tidak semestinya diabaikan begitu saja (act locally, think globally). Bertolak dari hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengungkap:
1.  Apa sumber, hakikat, ukuran, dan cara mencapai kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta?
2.  Bagaimana bentuk pandangan hidup yang bermuatan pendidikan dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta?
B.       Kerangka Teori
Epistemologi adalah salah satu cabang pokok bahasan dalam wilayah filsafat yang memperbincangkan seluk-beluk pengetahuan dan membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan. Persoalan sentral epistemologi adalah mengenai apa yang dapat diketahui, dan bagaimana cara mengetahuinya. Dagobert D. Runes memberikan pengertian bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan  manusia itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Kejawen merupakan kehidupan rohani dalam usaha mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang “arti kehidupan” atau tentang “hakikat segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada”, yaitu; mencari keterangan tentang asal mula pertama dan tujuan akhir manusia “sangkan paraning dumadi”, mengenal Tuhan “manunggaling kawula Gusti”, hubungan antara manusia, Tuhan, dan dunia (alam).
C.      Metode Penelitian
1.      Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif yakni penyelidikan mendalam yang dilakukan berdasarkan suatu prosedur penelitian lapangan yang menggunakan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dan tulisan dari orang-orang, perilaku yang dapat diamati dan fenomena yang muncul, seperti upacara ritual, benda-benda kraton, sikap sultan dan simbol-simbol Kejawen yang ada di Kraton Yogyakarta.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pen-dekatan filosofis. Pendekatan filosofis digunakan untuk merumuskan secara jelas hakikat dan sumber pengetahuan, metode memperoleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan pengetahuan. Lebih lanjut pen-dekatan filosofis dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji secara mendalam tentang epistemologi pendidikan Kejawen di Kraton Yogyakarta.
2.      Objek dan sumber data penelitian
Objek material dalam penelitian ini adalah masyarakat Kejawen di Kraton Yogyakarta. Adapun yang menjadi informan penelitian ini adalah gusti pangeran dan abdi dalem Kraton Yogyakarta, atau orang-orang yang dekat hubungannya dengan Kraton Yogyakarta yang beliau paham tentang masalah dalam penelitian ini.
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni data primer, dan data sekunder. Data primer diperoleh dalam bentuk verbal yaitu kata-kata atau ucapan lisan informan. Adapun data sekunder bersumber dari buku-buku, ensiklopedi, dokumen dan data-data lain yang dapat digunakan sebagai pelengkap sumber data primer.
3.      Teknik pengumpulan data penelitian
a.       Wawancara
Wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara men-dalam yaitu menggali sedalam-dalamnya informasi yang bisa didapat dari narasumber yang penulis tentukan. Nara sumber penelitian ini adalah gusti pangeran dan abdi dalem Kraton Yogyakarta, atau orang-orang yang dekat hubungannya dengan Kraton Yogyakarta yang beliau paham tentang masalah dalam penelitian ini.
b.      Dokumentasi
Teknik ini penulis gunakan dalam pengumpulan data yang terkait dengan fokus penelitian yang berasal dari sumber utamanya, seperti dokumen-dokumen, arsip-arsip, foto, modul, artikel, dan sebagainya yang terkait dengan permasalahan yang dikaji.
D.      Hasil Penelitian
1.      Sumber, hakikat, ukuran, dan cara mencapai kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta
Dagobert D. Runes, seperti yang ditulis oleh Mujamil Qomar memberikan pengertian bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.[3] Berdasarkan pengertian epistemologi tersebut, berikut akan diuraikan mengenai sumber, hakikat, ukuran, dan cara mencapai kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta.
Sumber Kejawen di Kraton Yogyakarta dikelompokkan menjadi dua bagian yakni materi dan imateri. Kelompok materi misalnya meliputi benda-benda regalia, pohon-pohon, dan bangunan fisik kraton. Adapun dalam bentuk imateri misalnya seperti tindakan-tindakan sultan, upacara ritual, tarian, dan tembang.
Kraton Yogyakarta sampai saat ini masih memiliki pemahaman tentang segala macam yang berbau takhayul, roh-roh halus, arwah leluhur, dan lain sebagainya, namun demikian mereka tetap mengakui dan meng-imani bahwa di atas semua itu, ada dzat yang paling tinggi yang menguasai segala sesuatu yakni Tuhan. Kraton Yogyakarta dalam praktiknya mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan keyakinan dan tradisi lama dengan konsep-konsep keislaman.[4] Hal ini berawal dari tidak lepas dari peranan Sunan Kalijaga yang telah berhasil menyampaikan ajaran Islam dengan cara Jawa bahkan melalui kebudayaan dan tradisi Jawa. Kebijakan yang dibuat oleh sultan pada masa itu selalu bereferensi pada kebajikan Sunan.
Kemampuan Kangjeng Sunan Kalijaga dalam bidang seni budaya ber-prinsip Jawa digawa Arab digarap. Wulangan, wejangan dan wedharan beliau senantiasa berusaha menjaga keselarasan agama dan budaya. Akulturasi antara teks-teks keagamaan dengan wacana ke-budayaan melahirkan kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa. Peralihan dari adat lama menuju kehidupan baru yang bernuansa Islam tetap berjalan secara aman, tentram dan damai, tanpa menimbulkan kegoncangan.[5] Tradisi inilah yang kemudian tetap dilestarikan oleh Kraton Yogyakarta hingga sekarang.
Hakikat Kejawen di Kraton Yogyakarta adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai kesempurnaan hidup (ngudi kasempurnan), dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia), alam (kosmos), dan Gusti (Pencipta/jumbuhing kawula Gusti). Kesempurnaan hidup yang menjadi hakikat Kejawen di Kraton Yogyakarta tersebut ditempuh dengan harapan dapat mencapai ridho Tuhan yakni dengan menyelaraskan hubungan antar sesama manusia (hablu minannas), manusia dengan alam (hablu minalam), dan manusia dengan Tuhan (habluminallah).[6]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hakikat Kejawen di Kraton Yogyakarta yakni ingin membentuk manusia yang luhur, dari bermartabat, selamat di dunia dan selamat di akhirat. Hakikat Kejawen sebagaimana tersebut dapat digali dan ditemukan dalam makna-makna yang tesembunyi dibalik simbol-simbol kraton terutama yang berbentuk materi, seperti benda-benda regalia, pohon-pohon yang ditanam disekitar kraton, dan dalam bangunan-bangunan fisik yang dapat dijumpai di Kraton Yogyakarta, walaupun tentu tidak semua benda-benda kraton tersebut mengandung makna-makna seperti yang telah disebutkan demikian.
Kejawen di Kraton Yogyakarta yang diwujudkan dalam bentuk pandangan hidup, mistis, dan simbol-simbol tentu tidak bisa diukur dari salah satu cara berfikir saja. Ukuran kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta bisa dikelompokkan menjadi dua yakni, benar secara rasional, dan benar secara metarasional. Immanuel Kant mengatakan bahwa apa yang dikatakan rasional adalah suatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan ukuran hukum alam. Dengan kata lain, rasional adalah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam[7]. Kebenaran rasional menggunakan akal sebagai tolak-ukurnya dengan melalui indera sebagai alat utamanya. Tindakan-tindakan sultan, makna benda-benda regalia, makna dibalik bangunan fisik kraton, dan makna pohon-pohon yang ditanam secara khusus di sekitar lingkungan kraton adalah bentuk pandangan hidup dan simbol-simbol Kejawen yang bisa dinilai ke-benarannya secara rasional.
Sedangkan kebenaran metarasional adalah kebenaran yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak terjangkau pembuktian rasional.[8] Kebenaran metarasional bisa disebut juga dengan kebenaran yang berlandas-kan kepercayaan.[9] Kebenaran metarasional ini dapat dijadikan “teropong” untuk menilai ukuran kebenaran Kejawen dalam bentuk mistis, seperti upacara labuhan dan upacara jamasan pusaka. Walaupun tidak rasional, namun hingga dewasa ini keluarga maupun abdi dalem Kraton Yogyakarta masih mempercayai bahwa apabila upacara labuhan atau jamasan pusaka yang rutin dilakukan setiap tahunnya sejak dulu kala itu tidak dilaksanakan, maka akan mendatang-kan malapetaka bagi kraton dan kesengsaraan bagi rakyat. Dengan kepercayaan seperti itu, mereka tidak pernah berani mencoba untuk meninggalkannya. Inilah kebenaran metarasional yang hanya bisa di-yakini kebenarannya dengan hati, bukan dengan akal (ratio).
Cara mencapai kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan cara laku dan dengan cara penalaran. Dengan cara laku dapat ditempuh dengan jalan puasa, tapa, dan tirakat. Puasa yang biasa dilakukan oleh penghayat Kejawen yakni seperti puasa mutih, puasa ngeruh, puasa nglowong, puasa ngebleng, puasa ngrowot, puasa nganyep, puasa ngidang, puasa ngepel, puasa ngasrep, puasa wungon, dan puasa patigeni. Untuk tapa yang biasa dijalani seperti tapa jejeg, tapa lelono, tapa kungkum, tapa ngalong, dan tapa ngeluwang. Sedangkan tirakat yang biasa dijalani adalah laku mutih milang kepel dan laku melek.
Adapun dengan cara penalaran dapat dilakukan dengan mengolah ciptarasa, dan karsa. Cipta merujuk kepada struktur logika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebenaran. Rasa merujuk kepada struktur estetika yang berupaya untuk memperoleh nilai keindahan. Karsa merujuk kepada struktur etika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebaikan. Cipta-rasa-karsa, logika-etika-estetika dan kebenaran-keindahan-kebaikan merupakan satu kesatuan yang dapat membuat kehidupan menjadi selaras, serasi dan seimbang.[10]
Hasil yang diperoleh dari laku dan penalaran dengan mengguna-kan cipta, rasa, dan karsa ini kemudian menjadi filsafat Jawa. Menurut filsafat Jawa, kesempurnaan hidup manusia dihayati dengan seluruh totalitas cipta-rasa-karsa. Kebijaksanaan hidup yang dilandasi logika-etika-estetika, cipta-rasa-karsa, kebenaran-kebaikan-keindahan, dalam filsafat Jawa akan ber-semayam dalam sanubari jalma pinilih, pethingane manungsa, pitatane dumadi. Manusia berjiwa agung, yang tidak kaget atas segala perubahan sosial, karena dirinya telah pana pranaweng kapti, tan samar pamoring suksma, sinuksmaya winahya ing ngasepi. Hatinya selalu terang benderang. Pambukane warana, sinimpen telenging kalbu, tarlen saking liyep-layaping aluyup. Layar kesadarannya akan memantul-kan aura kewibawaan.[11] Seperti itulah manusia apabila telah berhasil memperoleh kebenaran hakiki.
2.      Bentuk pandangan hidup yang bermuatan pendidikan dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta
Bentuk pandangan hidup yang bermuatan pendidikan dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk mistis seperti yang biasa dilakukan dalam upacara ritual (ritus) yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Dalam bentuk simbol-simbol seperti yang terdapat pada benda-benda regalia, dan dalam bentuk cara hidup seperti prilaku sultan.
a.      Dalam bentuk mistis
1)      Upacara Labuhan
Secara ontologi upacara labuhan adalah memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Khusus di Kraton Yogya-karta, upacara labuhan juga sering disebut dengan istilah Labuh Dalem. Kata “dalem” dipakai untuk menyebut Sri Sultan sebagai penguasa atau raja di Kraton Yogyakarta karena kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Kraton Yogya-karta.[12] Upacara labuhan yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta ada dua macam, yakni Labuhan Alit dan Labuhan Ageng. Labuhan alit diadakan setiap tahun, diselenggarakan di tiga tempat yakni Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sedangkan labuhan ageng diadakan setiap delapan tahun sekali, yaitu setiap tahun Dal, diselenggarakan di empat tempat, yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kayangan.
Upacara labuhan ini secara epistemologi diselenggarakan dengan maksud menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya (makhluk halus). Dalam mitologi Jawa, Kraton Yogyakarta dipercaya tidak hanya menguasai alam manusia saja namun juga alam gaib yang berada di dalam kawasan kekuasaan Yogyakarta. Dengan begitu wajar kiranya apabila sultan tidak hanya menyelenggarakan upacara ritual dalam hubungannya dengan manusia saja, namun juga dalam hubungan dengan makhluk halus yang juga menjadi rakyat dan wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.
Upacara labuhan ini secara aksiologi memberikan pesan agar manusia selalu menjaga alam, tidak merusak dan mencemarinya. Manusia hidup bergantung kepada alam. Manusia diciptakan untuk menjadi wakil Tuhan di muka bumi dengan tugas untuk menjaga dan melestarikan alam semesta ini. Selain manusia, Tuhan juga mencipta-kan makhluk lainnya yang dalam al-Qur’an disebut dengan jin. Manusia dan jin hidup berdampingan, meskipun dengan alam yang berbeda. Manusia dan jin mengemban tugas penciptaan yang sama, yakni agar beribadah kepada-Nya. Dalam menjalankan tugas ini, hendaknya manusia dan jin bisa hidup berdampingan secara harmonis. Dan upacara Labuhan ini adalah wujud nyata dari Kraton Yogyakarta untuk menjaga keharmonisan dua alam yang berbeda ini. Ke-harmonisan hubungan antara alam manusia dan jin seperti ini telah dibangun oleh para pendahulu kerajaan Mataram sejak berabad-abad silam dan hingga kini Kraton Yogyakarta pun tetap melestarikannya.
2)      Upacara Siraman Pusaka
Secara ontologi siraman/jamasan pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Di Kraton Yogyakarta, ritual membersihkan benda-benda pusaka ini dilaksanakan pada bulan Sura, pada hari Selasa Kliwon. Secara epistemologi upacara siraman pusaka ini merupakan wujud usaha Kraton Yogyakarta dalam rangka menjaga benda-benda bersejarah yang diwariskan secara turun-temurun sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta hingga dewasa ini. Benda-benda pusaka Kraton Yogyakarta tidak hanya merupakan warisan materi semata, namun juga merupakan warisan budaya bangsa. Sultan sebagai orang yang diberi amanah atas benda-benda warisan itu bertanggungjawab untuk senantiasa manjaga dan merawat-nya, maka kemudian munculah tradisi siraman pusaka ini.
Secara aksiologi upacara siraman pusaka ini memberikan pelajaran agar menjadi manusia yang amanah dan bertanggung jawab dengan apa yang telah dipercayakan, diamanahkan, dan diwariskan adalah sebuah kewajiban. Menjaga dan melestarikan warisan luhur budaya bangsa adalah amanah bagi setiap individu. Para leluhur dan orang-orang terdahulu telah mewariskan adat, tradisi, dan budaya yang adiluhung, maka tugas generasi peneruslah untuk senantiasa menjaga dan melestarikannya. Menjadi bangsa yang bangga dengan adat, tradisi, dan budaya sendiri. Mengangkat kembali kearifan lokal yang sempat termarjinalkan.
b.      Dalam bentuk simbol
1)      Banyak (berwujud angsa)
Benda regalia yang berwujud banyak (angsa) ini secara ontologi merupakan burung air berukuran besar dari genus Cygnus famili Anatidae. Angsa adalah anggota terbesar dari famili Anatidae, dan merupakan salah satu burung air terbesar yang dapat terbang. Angsa yang mayoritas berbulu putih ini membentuk ikatan monogami dengan pasangannya yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dalam beberapa kasus ikatan ini dapat berlangsung seumur hidup.[13] Menariknya lagi dari hewan ini adalah mereka sangat protektif terhadap anak-anaknya, apabila ada hewan atau makhluk lain yang mengancamnya mereka akan bersifat agresif.
Secara epistemologi benda regalia yang berwujud angsa ini menyimbolkan kesucian, kejujuran, kesiapsiagaan, kesetiaan, ke-waspadaan, dan ketajaman. Sedangkan secara aksiologi benda ini bertujuan untuk memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin harus bertindak lurus, dilandasi niat yang tulus dan suci dari hati nurani untuk menjadi pemimpin yang tulus melindungi dan mengayomi rakyat, bukan karena kepentingan pribadi maupun golongan. Berani jujur dan mengakui kesalahan, sehingga tidak menjadi pemimpin yang anti kritik. Selalu siap siaga dan tanggap dalam menyelesaikan segala permasalahan, dan selalu setia men-curahkan tenaga, pikiran, bahkan materi untuk rakyat.
2)      Dhalang (berwujud kijang)
Secara ontologi kijang adalah kerabat rusa yang tergabung dalam genus Muntiacus. Kijang termasuk jenis hewan yang mampu berlari dengan kecepatan tinggi, dan ia memiliki keunikan di mata para spritualis sebagai salah satu hewan yang berkemampuan berlari dengan sangat cepat,[14] selain itu hewan ini juga dikenal sebagai hewan yang sangat cerdik.
Secara epistemologi hewan kijang menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan. Secara aksiologi pelajran yang bisa dipetik dari benda regalia yang berwujud kijang ini adalah bahwasanya seorang pemimpin harus bertindak cepat dan tangkas, terutama berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan rakyatnya. Seorang pemimpin juga harus cerdas, tidak hanya cerdas secara IQ (intelektual), namun juga harus cerdas secara EQ (emosional) dan SQ (spiritual), sehingga dengan kecerdasan dan ketangkasan yang ia miliki mampu menjadi pemimpin yang baik bagi rakyatnya.
3)      Sawung (berwujud ayam jantan)
Sawung (ayam jantan) secara ontologi adalah jenis unggas yang paling digemari oleh banyak orang. Ayam jantan menarik karena lebih atraktif, berukuran lebih besar, memiliki jalu panjang, ber-jengger lebih besar, dan bulu ekornya panjang menjuntai. Secara epistemologi sawung (ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab.
Secara aksiologi, benda regalia yang berwujud ayam jantan ini memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin harus berani dan bertanggungjawab. Berani bertindak dengan segala resiko demi kepentingan rakyat. Bertanggungjawab dengan gentleman atas apa yang ia perbuat, baik itu benar ataupun salah. Pertanggungjawaban sebagai pemimpin tidak hanya di dunia saja, namun juga pertanggung-jawaban di akhirat.
4)      Galing (berwujud burung merak jantan)
Galing (burung merak jantan) secara ontologi adalah tiga spesies burung dalam genus Pavo dan Afropavo dari familia ayam hutan (pheasant), Phasianidae. Burung jantannya memiliki bulu ekor yang indah yang dapat dikembangkan untuk menarik perhatian merak betina. Bulu-bulu penutup ekor dibuka membentuk kipas dengan bintik berbentuk mata berwarna biru.
Secara epistemologi galing (burung merak jantan) menyimbol-kan kemuliaan, keagungan, dan keindahan. Secara aksiologi galing (burung merak jantan) memberikan pelajaran bahwa seorang pe-mimpin harus menjaga kemuliaan dan keagungannya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin sebagai orang yang mulia dan agung hendaklah selalu menjaga diri agar tidak mengotorinya dengan perbuatan-perbuatan yang dapat mencemari nama baiknya dan merendahkan kemuliaan dan ke-agungannya dengan melakukan tindakan/perbuatan/ keputusan yang tidak bertanggungjawab.

5)      Hardawalika (berwujud raja ular naga)
Hardawalika (raja ular naga) memiliki wujud seperti ular raksasa, mirip dengan naga Tiongkok namun tanpa kaki, dan biasa digambarkan mengenakan makhkota.[15] Benda regalia hardawalika (raja ular naga) ini secara epistemologi menyimbolkan kekuatan. Secara aksiologi harda-walika (raja ular naga) memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin harus kuat baik lahir maupun batin. Kuat dengan segala ujian dan cobaan, kuat dengan godaan-godaan yang datang sehingga tugas yang ia emban sebagai pemimpin dapat di-lewati dengan baik.
6)      Kutuk (berwujud kotak uang)
Benda regalia kutuk (kotak uang) ini secara ontologi berbrntuk segi empat sebagai tempat penyimpanan uang. Secara epistemologi kutuk (kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan ke-dermawanan. Secara aksiologi benda ini bertujuan memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin harus tetap rendah hati dan hidup dalam kesederhanaan, tidak hidup dalam gelimang harta dan kemewahan. Harta yang dimiliki pemimpin hendaknya tidak untuk kepentingan pribadi, namun juga bisa digunakan untuk membantu rakyatnya yang masih sangat kekurangan.
7)      Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas)
Secara ontologi kacu mas berbentuk kotak sebagai tempat sapu tangan. Secara epistimologi kacu mas menyimbolkan kesucian dan kemurnian. Secara aksiologi kacu mas berarti seorang pemimpin harus suci dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengotori nama baiknya. Selalu menjaga kumurnian niatnya sebagai pemimpin yang selalu mengayomi masyarakat.
8)      Kandhil (berwujud lentera minyak)
Secara ontologi kandhil (lentera minyak) berbentuk persegi panjang dan bagian atas berbentuk lonceng sebagai alat penerangan dengan minyak sebagai bahan bakarnya. Secara epistemologi kandhil (lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan. Secara aksiologi kandhil (lentera minyak) berarti seorang pemimpin harus mampu menjadi tauladan bagi rakyatnya, menjadi pemimpin yang mampu menerangi hati rakyatnya, bak lentera dalam kegelapan.
9)      Saput (Berwujud tempat segala macam alat)
Secara ontologi, saput merupakan tempat segala macam alat yang meliputi cepuri (berwujud nampan sirih pinang), wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang). Secara epistemologi, saput menyimbolkan kesiapsiagaan. Secara aksiologi saput dapat diartikan bahwa seorang pemimpin harus selalu siap siaga menghadapi segala sesuatu kemungkinan yang dapat terjadi selama pemerintahannya. Seorang pemimpin tidak boleh lengah, tidak boleh berleha-leha, harus selalu siap siaga.
c.       Dalam bentuk cara hidup
Dalam bentuk cara hidup seperti yang bisa diamati dalam prilaku hidup sultan atau sikap-sikap yang harus dilakukan oleh seorang sultan, seperti:
a)      Laku hambeging tirta
Tirta (air) secara ontologi merupakan zat cair yang mampu menyesuaikan diri dengan ruang. Air sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Secara epistemologi, air berarti sumber kehidupan, bersifat tenang, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Secara aksiologi, tirta (air) memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin harus seperti hujan dan air yang memungkinkan tumbuh dan hidupnya tumbuh-tumbuhan serta semua makhluk di bumi ini.
Bila direnungkan lebih dalam, maka air mengandung makna bahwa pemimpin harus selalu memikirkan nasib rakyatnya, selalu bekerja untuk mencapai kemakmuran rakyat secara menyeluruh. Pemimpin dituntut untuk bisa memupuk human relation (hubungan kemanusiaan) guna menegakkan human right (kebenaran dan ke-adilan). Pemimpin yang adil seperti air yang selalu rata permukaan-nya. Dengan keadilan yang ditegakkannya dapat memberi kecerahan seperti air yang membersihkan kotoran.
b)     Laku hambeging kartika
Kartika (bintang) secara ontologi, bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa yang menghasilkan cahaya sendiri.[16] Secara epistemologi kartika (bintang) merupakan simbol penerangan, kepercayaan diri, keadilan. Secara aksiologi, kartika (bintang) bermakna pemimpin yang selalu percaya diri meskipun dalam dirinya terdapat kekurangan. Ibarat bintang-bintang di angkasa yang meskipun sangat kecil, tapi dengan optimis memancarkan cahayanya sebagai sumbangan untuk kehidupan.
Pemimpin haruslah berlaku adil terhadap seluruh pengikut yang ada dengan menghukum segala perbuatan yang jahat dengan menjatuhi hukuman yang sesuai dengan besarnya kesalahan mereka dan menghargai perbuatan yang baik. Apabila pemimpin tidak ber-sikap adil maka akan timbul krisis kewibawaaan dan anarki dalam menjalankan tugas. Sesuai dengan hukum karma pahala maka hukuman tersebut harus bersifat edukatif dimana hukuman yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan, sehingga bawahan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas kewajibannya.
c)      Laku hambeging surya
Secara ontologi surya (matahari) adalah bintang di pusat Tata Surya. Bentuknya nyaris bulat dan terdiri dari plasma panas bercampur medan magnet.[17] Matahari sangat berperan besar dalam kehidupan makhluk yang ada di bumi, dengan cahayanya yang sangat terang ia menjadi sumber kehidupan. Secara epistemologi surya (matahari) bermakna penerang, sumber kekuatan, berwibawa.
Secara aksiologi surya (matahari) bertujuan untuk memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin dalam tugasnya harus mampu mem-berikan penerangan kepada anak buahnya atau bawahannya serta memberikan kekuatan kepadanya. Bawahan harus diberikan kesadaran akan tanggung jawabnya dan benar-benar menginsyafi tugas yang dipikulnya.
Matahari, memancarkan sinarnya ke segala pelosok dunia dan menerangi seluruh alam semesta ini tanpa pandang tempat, rendah dan tinggi. Dengan demikian pemimpin hendaknya tidak jemu-jemu menga-dakan hubungan dengan bawahannya sehingga mengetahui benar tentang keadaan anak buahnya atau bawahannya.
d)     Laku hambeging candra
Secara ontologi candra (bulan) adalah satu-satunya satelit alami Bumi dan merupakan satelit terbesar kelima dalam Tata Surya. Candra (bulan) merupakan sumber penerangan bagi bumi ketika malam hari. Bulan memancarkan cahaya yang lembut dan tenang serta memberikan kedamaian. Secara epistemologi, candra (bulan) ber-makna penerang dan pendamai.
Secara aksiologi, candra (bulan) memberikan pelajaran bahwa seorang pemimpin diharapkan mampu memberikan penerangan yang sejuk dan nyaman seperti bulan. Mampu menjadi pemimpin yang bisa menjadi pendamai, penengah, dan pemecah masalah yang dihadapi oleh rakyatnya.
e)      Laku hambeging samirana
Secara ontologi samirana (angin) adalah udara yang bergerak yang diakibatkan oleh rotasi bumi dan juga karena adanya perbedaan tekanan udara di sekitarnya. Angin bergerak dari tempat bertekanan udara tinggi ke bertekanan udara rendah.[18] Secara epistemologi samirana (angin) berarti ketelitian. Secara aksiologi samirana (angin) mengajarkan bahwa menjadi pemimpin harus selalu waspada dan teliti di mana saja berada. Pemimpin harus dapat mengetahui segala hal ikhwal dan pikiran anak buahnya, sehingga dapat mengerti lebih dalam, terutama dalam kesukaran hidupnya maupun dalam menjalan-kan tugasnya, namun tidak perlu diketahui oleh anak buah.
Dalam manajemen, hal ini dinamakan employee concelling. Dalam Seloka disebutkan “Angin jika mengenai perbuatan-perbuatan (yang jahat), hendaknya kamu ketahui akibatnya. Pandanganmu hendak-nya baik. Demikianlah pemimpin hendaknya mempunyai sifat luhur dan tidak tamak (oleh siapapun ia dapat dimintai bantuan).”
f)       Laku hambeging kisma
Secara ontologi kisma (tanah) adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranan-nya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernapas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.[19]
Secara epistemologi kisma (tanah) berarti sifat belas asih. Secara aksiologi kisma (tanah) mengajarkan agar menjadi pemimpin yang selalu berbelas kasih kepada siapa saja, seperti tanah yang selalu memberikan manfaat. Tanah tidak pernah memperdulikan siapa yang menginjaknya, semua dikasihani. Makna yang terkandung adalah se-belum seorang pemimpin mengatur orang lain, pemimpin haruslah bisa mengatur dirinya sendiri terlebih dahulu.
g)      Laku hambeging samodra
Secara ontologi samodra (samudera) adalah laut yang luas dan merupakan massa air asin yang sambung-menyambung meliputi per-mukaan bumi yang dibatasi oleh benua ataupun kepulauan yang besar.[20] Samudera merupakan tujuan terakhir dari semua sungai. Semua sungai yang berasal dari gunung berakhir di samudera. Secara epistemologi samodra (samudera) berarti sifat pemaaf.
Secara aksiologi samodra (samudera) memberikan pelajaran agar menjadi pemimpin yang mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudera yang selalu menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pandangan yang luas dan bijaksana di dalam menyikapi semua permasalahan yang ada. Pemimpin mau mendengarkan suara hati atau pendapat anak buah dan bisa menyimpulkan secara baik, sehingga dengan demikian bawahan merasa puas dan taat serta mudah digerakkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
h)     Laku hambeging dahana
Secara ontologi dahana (api) adalah oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya. Api berupa energi ber-intensitas yang bervariasi dan memiliki bentuk cahaya.[21] Secara epistemologi dahana (api) berarti semangat.
Secara aksiologi dahana (api) mengajarkan agar menjadi seorang pemimpin yang mempunyai semangat yang berkobar-kobar laksana api dan dapat pula mengobarkan semangat anak buah yang diarahkan untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang pemimpin harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa ke-rusakan di muka bumi.
E.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang penyusun paparkan tersebut, pem-bahasan tentang epistemologi pendidikan Kejawen di Kraton Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Sumber Kejawen di Kraton Yogyakarta dikelompokkan menjadi dua bagian yakni materi misalnya meliputi benda-benda regalia, pohon-pohon, dan bangunan fisik kraton dan imateri seperti tindakan-tindakan sultan, upacara ritual, tarian, dan tembang. Hakikat Kejawen di Kraton Yogya-karta adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai ke-sempurnaan hidup yakni dengan menyelaraskan hubungan antar sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Ukuran kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta dikelompokkan menjadi dua yakni, benar secara rasional dan benar secara metarasional. Benar secara rasional seperti tindakan-tindakan sultan dan makna benda-benda regalia. Benar secara metarasional seperti upacara labuhan dan upacara jamasan pusaka. Adapun cara untuk mencapai kebenaran dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan cara laku dan dengan cara penalaran.
2.      Bentuk pandangan hidup yang bermuatan pendidikan dalam Kejawen di Kraton Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk mistis seperti yang biasa dilakukan dalam upacara ritual (ritus) yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Dalam bentuk simbol-simbol seperti yang terdapat pada benda-benda regalia, dan dalam bentuk cara hidup seperti prilaku sultan.
F.       Saran
Kraton Yogyakarta merupakan salah satu central kebudayaan Jawa yang saat ini masih bertahan seiring perubahan zaman. Kraton Yogyakarta yang didirikan di atas filosofi dan cita-cita yang tinggi untuk memangku buwana (menopang dunia) ini memberikan banyak pelajaran dan nilai-nilai luhur dibaliknya. Makna-makna dan kaweruh itu akan menjadi usang dan tak berarti bila tidak dikaji dan diangkat ke permukaan.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan penelitian Kejawen yang diwujudkan dalam upacara ritual, benda-benda regalia, dan perilaku atau sikap sultan saja, padahal objek kajian Kejawen masih sangat luas untuk di-kaji, seperti misalnya tarian, tembang, simbol-simbol yang melekat pada bangunan fisik kraton, pohon-pohon yang ditanam di sekitar kompleks kraton, tata letak kraton, dan masih banyak lagi yang masih bisa untuk di-jadikan bahan kajian dalam penelitian lanjutan.




  
DAFTAR PUSTAKA
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Sumiarti, “Pendidikan Moral dalam Ajaran Kejawen”, dalam Insania, Vol. 11, Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 2006.
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.
Purwadi, “Metode Analisis Upacara Di Makam Sunan Kalijaga Untuk Mengembang-kan Program Kuliah Pranata Sosial Jawa”, Makalah, 2011.
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu. Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Akal, diakses Senin 26 Mei 2014.
Alishodiqin, “Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar”, dalam http://alifaiunisda.wordpress.com/ 2010/06/07/filsafat-ilmu-sebuah-pengantar/, diakses Senin 26 Mei 2014.
Laura Dame Rosa, “Dasar Logika itu Penting”, dalam http://catatankomunikasi.blogspot. com/2012/02/dasar-logika-itu-penting.html, diakses Senin 26 Mei 2014. 
Purwadi, Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal,  Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Anonim, “Angsa”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Angsa, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Kijang”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kijang, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Naga Jawa”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Naga_Jawa, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Bintang”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Bintang, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Matahari”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Matahari, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Angin”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Angin, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Tanah”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah, diakses Selasa17 Juni 2014.
Anonim, “Samudera”, dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Samudera, diakses Selasa 17 Juni 2014.
Anonim, “Api”, dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Api, diakses Selasa 17 Juni 2014.


[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 43.
[2] Sumiarti, “Pendidikan Moral dalam Ajaran Kejawen”, dalam Insania, Vol. 11, (Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 2006), hlm. 5.
[3] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2.
[4] Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan GBPH. Yudaningrat, Kamis, 16 Januari 2014.
[5] Purwadi, “Metode Analisis Upacara Di Makam Sunan Kalijaga Untuk Mengembang-kan Program Kuliah Pranata Sosial Jawa”, Makalah, 2011, hlm. 7.
[6] Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan GBPH. Yudaningrat, Kamis, 16 Januari 2014.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu. Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Akal, diakses Senin 26 Mei 2014.
[8] Alishodiqin, “Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar”, dalam http://alifaiunisda.wordpress.com/ 2010/06/07/filsafat-ilmu-sebuah-pengantar/, diakses Senin 26 Mei 2014.
[9] Laura Dame Rosa, “Dasar Logika itu Penting”, dalam http://catatankomunikasi.blogspot. com/2012/02/dasar-logika-itu-penting.html, diakses Senin 26 Mei 2014. 
[10] Purwadi, Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal,  (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hlm. 2.
[11] Ibid., hlm. 12-13.
[12] Ibid., hlm. 101.
[13] Anonim, “Angsa”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Angsa, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[14] Anonim, “Kijang”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kijang, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[15] Anonim, “Naga Jawa”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Naga_Jawa, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[16] Anonim, “Bintang”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Bintang, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[17] Anonim, “Matahari”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Matahari, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[18] Anonim, “Angin”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Angin, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[19] Anonim, “Tanah”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah, diakses Selasa17 Juni 2014.
[20] Anonim, “Samudera”, dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Samudera, diakses Selasa 17 Juni 2014.
[21] Anonim, “Api”, dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Api, diakses Selasa 17 Juni 2014.

Comments

Popular posts from this blog

ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ORGANISASI PENDIDIKAN : JENIS DAN STRATEGI PENGUATAN

IPTEK dan Seni Dalam Pandangan Islam