Strategi dan Perencanaan Pengembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

  A.       Strategi Pengembangan Keagamaan Pada PAUD 1.        Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah SWT Diantara cara membimbing anak menuju akidah yang benar adalah dengan mendidik mereka untuk mencintai Allah. Pendidikan ini harus diberikan sejak   ini. Pada saat tersebut, mulailah mereka diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) yang terdekat disekitar mereka.   Selain itu, juga perlu diupayakan adanya keterikatan antara mereka dengan yang   telah menciptakannya, pemilik keagungan, pemberi nikmat, dan maha dermawan.   Dengan bentuk seperti ini anak pasti akan mencintai Allah (Rajih, 2008: 87-88) Rasa cinta kepada Allah beserta seluruh ciptaannya dapat diperkenalkan pada anak usia dini melalui pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik tersebut akan mengenalkan akan pada makhluk ciptaan Allah sekaligus mengenalkan anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dengan proses mengamati. Menciptakan rasa cinta kepada Allah juga diikuti oleh men

Abdullah Saeed : INTERPRETATION BASED ON REASON


INTERPRETATION BASED ON REASON
Abdullah Saeed menawarkan sebuah pendekatan baru dalam bukunya the Interpreting the Qur’an dikarenakan dia melihat adanya gap antara kebutuhan muslim pada abad ke 21 yang berkembang sedemikian pesat dan kompleks dengan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang masih banyak diinterpretasikan secara literal dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana kehidupan sosio-religious pada masa awal-awal Islam. Meskipun realitasnya, konteks sosial masyarakat Islam pada abad ke 21 sangat berbeda dengan konteks sosio-historis masyarakat muslim pada 14 abad yang lalu ketika al-Qur’an diturunkan.
Dinyatakan oleh Abdullah Saeed bahwa perlu adanya pendekatan baru yang disebut dengan contextualist approach yang memperhatikan socio-historical context di mana al-Qur’an diturunkan pada masa awal Islam dan kebutuhan masyarakat Muslim di era abad 21 dan masa yang akan datang. Pendekataan ini diharapkan dapat melepaskan keterbelengguan umat Islam dari legalistic-literalistic approach yang mendominasi interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan hukum Islam sampai era modern saat ini. Masyarakat pada abad 20-21 menunjukkan perkembangan yang luar biasa dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penemuan-penemuan baru dalam bidang astronomi dan astrophysics dapat merubah pandangan manusia, terutama umat Islam terhadap alam semesta. Persoalan human rights dan gender equality tidak hanya menjadi bahan kajian tetapi sudah menjadi tuntutan, padahal persoalan tersebut belum banyak disentuh atau bahkan belum dianggap persoalan yang perlu mendapat perhatian serius. Demikian juga dengan persoalan rekayasa genetika yang tidak hanya bisa menyeleksi gen-gen yang baik, dapat menentukan jenis kelamin bahkan dapat mengkloning manusia. Hal yang terkait dengan religious dan non-religious, sacred dan non-sacred dalam teks al-Qur’an serta sistem pemerintahan yang berkembang saat ini, juga perlu dikaji kembali. Hal ini tentunya membutuhkan jawaban dari ajaran Islam, terutama dari al-Qur’an yang harus senantiasa dire-interpretasi sesuai dengan konteks kekinian berbasis pada metodologi dan pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping persoalan di atas, kegelisahan Abdullah Saeed juga dilatarbelakangi oleh suatu kondisi bahwa mayoritas umat Islam merasa bahwa hasil kajian ulama terdahulu terutama dalam bidang fiqh sudah “final”. Hal ini menyebabkan bahwa setiap ada persoalan baru, para ulama atau ahli Islam tidak merujuk ke al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam untuk digali makna yang sesuai dengan konteks sosial masa kekinian, tetapi hanya merujuk kepada kitab-kitab fiqh klasik yang secara sosio-historis, kultur, nilai berbeda dengan kondisi masa sekarang. Hal ini menyebabkan ilmu-ilmu keislaman mengalami kemandegan karena nilai-nilai dan makna yang ada dalam al-Qur’an tidak lagi digali dan dijadikan rujukan yang utama.
Hal inilah yang melatarbelakangi Abdullah Saeed memunculkan gagasan perlu adanya pendekatan baru dalam menginterpretasikan al-Qur’an untuk menjawab kegelisahannya yang diwujudkan dalam pertanyaan sebagai berikut: (1) Can one be faithful to the Qur’anic revelation while attempting to relate it to the needs of Muslim today?, dan (2) Can muslim legitimately rethink aspects of methodology and the approaches to interpretation transmitted to us historically? Dalam konteks inilah Abdullah Saeed mengajukan tawaran pendekatan baru sebagai jembatan yang menghubungkan kebutuhan umat Islam pada abad 21 ini dengan pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang bersandar pada hasil re-interpretasi terhadap sumber ajaran Islam yang utama, yaitu al-Qur’an.
Perkembangan kebutuhan akan reinterpretasi tersebut pada akhirnya, diharapkan, dapat menjawab kebutuhan umat Islam di era abd ke 21 dan masa yang akan datang sehingga al-Qur’an is capable of meeting the needs of Muslim at any given time or place (al-Qur’an salih likulli zaman wamakan). Abdullah Saeed dalam tawaran pendekatan barunya tersebut memandang bahwa pendekatan lingustik, sebagaimana textualist mufassir, masih perlu dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Penggunaan linguistik menjadi langkah pertama dari empat langkah yang ditawarkannya. Penggunaan lingustik digunakan, misalnya dalam pemahaman terhadap arti (meaning) dari ayat. Saeed berargumentasi bahwa “meaning is often indeterminate”. Bahkan dia juga menyatakan bahwa the meaning of those texts are also inherently unstable, in the sense that certain aspect of meaning we attribute to them have in fact changed over time”. Ini berarti bahwa kita tidak boleh menyempitkan makna ayat pada satu atau dua pemahaman saja, akan tetapi harus tetap dibuka kemungkinan penemuan makna-makna atau pemahaman-pemahaman baru sesuai dengan realitas kontemporer. Dia menyatakan “If meaning is fluid and susceptible to change, that is, it is depedent on time, linguistic context and socio-historical circumstances, then that has to be an essential part of our approach to the text”.
Pandangan Saeed ini tentunya didasari oleh kepakarannya dalam bidang linguistik dan adanya kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa adanya fleksiblitas dalam bacaan al-Qur’an sebagai the sacred texts. Hal ini bisa menjadi indikasi, menurut pandangan Saeed, bahwa ada fleksibilitas juga dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Kata ahruf dalam hadith “Al-Qur’an yang diturunkan dalam 7 ahruf” mempunyai implikasi terhadap pemahaman yang bermacam-macam. Apakah ahruf dimaknai [tujuh] aspek bahasa Arab, termasuk dialekatau [tujuh] cara (ways) bacaan yang dikenal dengan qira’ah sab’ah. Terlepas dari perdebatan yang ada, hal tersebut menunjukkan bahwa adanya fleksibilitas al-Qur’an tidak hanya dari cara bacaan atau dialek, tetapi juga adanya fleksibilitas dalam memaknai dan memahami ayat al-Qur’an sesuai dengan socio-historical context-nya.23

Comments

Popular posts from this blog

ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ORGANISASI PENDIDIKAN : JENIS DAN STRATEGI PENGUATAN

IPTEK dan Seni Dalam Pandangan Islam