Alfian Aziz Fikri, Jurusan Kimia
K1A015062
Wayang diambil dari kata bahasa jawa yang
berati “bayangan”. Atau diambil makna bahwa wayang adalah penggambaran
kehidupan atau pencerminan sifat manusia yang ada di dalam jiwa manusia itu
sendiri. Sifat itu sendiri terbagi
mendadi dua sifat dasar, sifat angkara murka dan sifat kebaikan atau kebajikan.
Dalam pementasan wayang, banyak orang yang terlibat. Mulai dari unsur manusia
sampai unsur benda. Dalang digambarkan sebagai sutradara yang mengatur jalanya
cerita. pemain gamelan dan sinden mengatur musik untuk menggambarkan suasana
yang terdapat dalam kisah tadi. Layar putih atau kelir melambangkan putihnya
langit, debog atau batang pisang pada pementasan wayang kulit dilambangkan
sebagai bumi dan Blencong atau lampu minyak melambangkan matahari.
Seni
di berbagi belahan dunia menjadi alat dakwah yang dinilai mampu dalam
penyebaran agama islam. Wayang sendiri merupakan salah satu media seni yang
digunakan oleh para wali untuk menyebarkan ajaran islam di tanah Jawa. Hal ini
disebabkan karena seni wayang adalah hal yang mudah diterima di berbagai
lapisan ekonomi dan berbagai kalangan
masyarakat.
Di
dalam lakon dewa ruci yang bedasarkan pakem pewayangan sabdo dadi, dikisahkan
seorang kesatria bernama Raden Bratasena, anak ke-2 dari Prabu Pandhu Dewanata,
memiliki suatu keinginan mencari ilmu tentang kesempurnaan yang disebut Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu. Lalu oleh sang guru yang bernama Drona,
Bratasena diharuskan terlebih dulu untuk mencari Kayu Gong Susuhing Angin.
Berangkatlah Bratasena ke Hutan Tribasara tempat dimana adanya kayu tersebut.
Di dalam hutan, Bratasena bertemu dan bertarung dengan dua raksasa bernama
Dibyakala Rukmuka dan Dibyakala Rukmakala. Seteah kalah dari Bratasena, kedua
raksasa tadi membuka penjelmaan mereka yang sebenarnya adalah Dewa Indra dan
Dewa Bayu. Kemudian Dewa Bayu dan Dewa Indra menjelaskan bahwa kayu gong
susuhing angin sebenarnya tidak ada dan sebenarnya Guru Drona menipu Bratasena
demi keuntungan kurawa. Oleh Dewa Bayu dan Indra, Bratasena diberikan Ali-ali
Manik Panungguling Warih yang mempunyai kekuatan dapat bernafas di dalam air.
Makna
yang terdapat dalam nama Kayu Gong Susuhing Angin yaitu, kayu berasal dari kata
kayun atau kayungyun yang berarti keinginan. Gong yang berasal dari kata gung
yang berarti besar. Susuh yang berarti tempat dan angin yang berarti nafas.
Jadi dapat diartikan bahwa makna dari kayu gong susuhing angin adalah sebuah
keinginan yang besar untuk mencapai sebuah tujuan yang digambarkan seperti
angin yang besar. Dalam agama islam pun diajarkan bahwa dalam mencari sesuatu apalagi
dalam hal ilmu, kita harus bersungguh-sungguh. Seperti pada syair Arab dulu
yaitu “man jadda wad jadda” atau siapa yang bersungguh-sungguh, akan menuai
keberhasilan.
Sekembalinya dari hutan, Bratasena menemui
Guru Drona untuk menanyakan tentang hal tersebut. Merasa tipu dayanya gagal,
Guru Drona mengajukan syarat kedua yaitu mencari Tirto Suci Pawira Sari yang
ada di Samudra Minangkalbu. Karena tekad yang sangat besar, Raden Bratasena
langsung berangkat mencari Tirto Suci Pawira Sari walaupun ibu dan
saudara-saudaranya menghalanginya.
Sesampainya
Raden Bratasena di tepi laut, Ia langsung masuk dalam Samudra Minangkalbu. Raden
Bratasena kemudian bertemu dan bertarung dengan Naga Panemburnawa. Setelah
melakukan pertarungan sengit, Bratasena mampu mengalahkan Naga Panemburnawa.
Kemudian munculah seseorang dengan wajah mirip Bratasena namun hanya memiliki
tubuh sebesar telapak tangan Bratasena, orang tersebut adalah Dewa Ruci. Dewa Ruci
kemudian memerintahkan Bratasena untuk masuk dalam telinga Dewa Ruci dan Raden
Bratasena pun menyanggupinya. Di dalam telinga Dewa Ruci, Raden Bratasena
memasuki alam yang aneh dan belum pernah Ia jumpai. Setelah keluar dari telinga
Dewa Ruci, Bratasena menanyakan tentang tempat Tirto Suci Pawira Sari dan
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu atau disebut juga ilmu tentang
kesempurnaan. Setelah semuanya jelas Raden Bratasena kembali ke negaranya untuk
menjadi kesatria kembali.
Dari
kisah tersebut terdapat filosofi dimana
tekad yang kuat didorong oleh kemauan yang besar bisa mempermudah
tercapainya suatu tujuan. Penggambaran Bratasena yang selalu ingin tahu dan
memiliki tekad yang kuat dapat menjadikan tambahan semangat bagi Ia sendiri.
Filosofi yang kedua yaitu siapapun orangnya, dan dimanapun tempat dan kapanpun
waktunya, kalau seseorang dapat memberikan petunjuk dan pelajaran maka bisa
disebut guru dan wajib untuk dihormati. Walaupun Drona adalah guru dalam
peperangan tapi Ia dapat memberikan pembelajaran tentang Ilmu kesempurnaan dan
maknanya secara tersirat maka Bratasena wajib memberi hormat padanya. Dan yang
terakhir, tidak
ada yang instan dalam mencari ilmu semuanya membutuhkan proses seperti
Bratasena yang mencari ilmu tersebut dari Hutan Tribasara sampai Samudera
Minangkalbu.
Cerita
ini dilatar belakangi suatu surat dalam Al Quran yaitu surat Al Mujadalah ayat
11 yang artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majelis” maka lapangkanlah, niscaya Allah memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi Ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari
ayat tadi dapat diambil arti bahwa Allah akan memberikan derajat yang lebih
bagi seseorang yang mencari ilmu pengetahuan, hal itu juga terkandung dalam
filosofi lakon Dewa Ruci yang mana dikisahkan kesungguhan Bratasena dalam
mencari ilmu kesempurnaan.
Mantap sekali ulasannya. Saya menjadai paham tentang kisah Dewa Ruci.
ReplyDelete