Strategi dan Perencanaan Pengembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

  A.       Strategi Pengembangan Keagamaan Pada PAUD 1.        Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah SWT Diantara cara membimbing anak menuju akidah yang benar adalah dengan mendidik mereka untuk mencintai Allah. Pendidikan ini harus diberikan sejak   ini. Pada saat tersebut, mulailah mereka diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) yang terdekat disekitar mereka.   Selain itu, juga perlu diupayakan adanya keterikatan antara mereka dengan yang   telah menciptakannya, pemilik keagungan, pemberi nikmat, dan maha dermawan.   Dengan bentuk seperti ini anak pasti akan mencintai Allah (Rajih, 2008: 87-88) Rasa cinta kepada Allah beserta seluruh ciptaannya dapat diperkenalkan pada anak usia dini melalui pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik tersebut akan mengenalkan akan pada makhluk ciptaan Allah sekaligus mengenalkan anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dengan proses mengamati. Menciptakan rasa cinta kepada Allah juga diikuti oleh men

Konsep Ketuhanan Dalam Islam

                
Konsep Ketuhanan dalam Islam

PENDAHULUAN
Makalah ini merupakan pemenuhan tugas Pendidikan Agama Islam yang memang harus terpenuhi sebagai nilai tambahan yang sudah ditentukan oleh pengajar disamping itu juga makalah ini sangat bermanfaat bagi pembaca karena pada makalah ini sedikit/banyaknya terdapat ilmu yang dapat diambil sebagai pengetahuan atau wawasan.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang diberikan kesempurnaan dibandingkan makhluk lain, maka dari itu ada beberapa manusia yang memang menggunakan akalnya untuk mengkaji hal-hal yang belum ada sebagai rasa keingintauan seperti halnya pada makalah ini juga akan mengkaji yaitu diantaranya tentang filsafat Ketuhanan dalam Islam, keimanan dan ketakwaan, yang berisi dari berbagai sumber, agar makalah ini ada nilai banding dengan makalah lain.

PEMBAHASAN
A.    Filsafat Ketuhanan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[1]
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah Swt, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi muslim dan sebagian orang yang menyebut kecerdasan spiritual yang ditindak lanjuti dengan kecerdasan sosial. Inti ketaatan tidak dinilai menurut Allah Swt, bila tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.

B.     Siapa Tuhan Itu?
Lafal Ilahi yang artinya Tuhan, menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan dan dipentingkan manusia, misalnya dalam surat Al-Furqon: 43 yang artinya: “Apakah engkau melihat orang yang menghilangkan keinginan-keinginan pribadinya?”[2]
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berijisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain sementara yang lain membutuhkan-Nya.[3]
Orang menyediakan hawa nafsunya, yang dipuji dalam hidupnya, berarti telah berbuat syirik yang sebenarnya menurut Islam hawa nafsu harus tunduk kepada kehendak Allah Swt. Dalam surah Al-Qoshos: 38, lafal Ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri, yang artinya:
“Dan Fir’aun berkata, wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian mempunyai Ilah selain diriku”
Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam bentuk konkret maupun abstrak/gaib. Al-Qur’an menegaskan Ilah bisa dalam bentuk mufrad maupun jama’ (ilah, ilahian, ilahuna). Ilah ialah sesuatu yang dipentingkan, dipuja, diminintai, diagungkan diharapkan memberikan kemaslahatan dan termasuk yang ditakuti karena mendatangkan bahaya.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 163 menegaskan, “Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Ilah yang dituju ayat di atas adalah Allah Swt, yang menurut Ulama’ Ilmu Kalam Ilah di sini bermakna al-Ma’bud, artinya satu-satunya yang diibadati/disembah. Sedang Al-Matbu’, yang dicintai, yang disenangi, diikuti. Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, bahwa Allah Swt. satu-satunya Tuhan yang diibadahi, dicintai, disenangi, dan diikuti.
Allah Swt memfirmankan dalam Al-Qur’an surat Thoha : 14, yang artinya: “Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku (Allah), maka beribadahlah hanya kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah sholat untuk mengingatku”.
Kalimat Tauhid keesaan secara konprehensif mempunyai pengertian sebagai berikut:
a.       La Kholiqo illa Allah: Tiada Pencipta selain Allah
b.      La Roziqo illa Allah: Tiada Pemberi rizqi selain Allah
c.       La Hafidha illa Allah: Tiada Pemelihara selain Allah
d.      La Malika illa Allah: Tiada Penguasa selain Allah
e.       La Waliya illa Allah: Tiada Pemimpin selain Allah
f.       La Hakima illa Allah: Tiada Hakim selain Allah
g.      La Ghoyata illa Allah: Tiada Yang Maha menjadi tujuan selain Allah
h.      La Ma’buda illa Allah: Tiada Yang Maha disembah selain Allah

Lafal Al-ilah pada kalimat tauhid menurut Ibnu Taimiyah memiliki pengertian yang dipuja dengan cinta sepenuh hati, tunduk kepada-Nya merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan mengharapkan kepadaNya, berserah hanya kepada-Nya ketika dalam kesulitan dan kesusahan, meminta perlindungan kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan jiwa dikala mengingat dan terpaut cinta denganNya. Ini yang disebut Tauhid Rububiyah.[4]
Lawan tauhid adalah syirik, artinya menyekutukan Allah Swt dengan yang lain, mengakui adanya Tuhan selain Allah, menjadikan tujuan hidupnya selain kepada Allah. Dalam ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan selain dengan Allah Swt, baik persekutuan itu mengenai dzatNya, sifatNya atau af’alNya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya saja.
Syirik merupakan dosa yang paling besar yang tidak dapat diampuni, syirik itu bertentangan dengan perintah Allah Swt, juga berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat dan  martabat manusia, serta membuatnya tak pantas menempati kedudukan tinggi yang telah ditentukan Allah Swt. dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah Swt berfirman dalam surah Luqman : 13 yang artinya “Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada Anaknya. Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedhaliman yang amat besar”.
Dan didalam ayat lain, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang telah berbuat syirik kepadaNya, tergolong orang yang telah berbuat dosa besar, sebagaimana firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, bagi siapa berkehendak. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”. (QS. An-Nisa’: 48).

C.    Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
a.       Pemikiran Barat
Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah hasil pemikiran tentang Tuhan baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah dari penelitian rasional, maupun pengalaman batin.
Max Muller berpendapat bahwa konsep pemikiran barat tentang Tuhan mengalami evolusi yang diawali dengan Dinamisme, Animisme, Politeisme, Henoteisme, dan puncak tertingginya monoteisme (Nisbi). Pemikiran tentang Tuhan sebagaimana di atas, hasil pendekatannya adalah budaya, Arnold Toynbe mengatakan: “Monoteisme bukan hasil akhir dan proses pemikiran tentang Tuhan, sebab orang yang sudah maju dalam intelektualitasnya sangat mungkin justru berputar mundur dalam bertuhan, yakni animistis”.

b.      Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu kalam, ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan ada aliran diantara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliran-aliran tersebuut adalah:
1.  Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam, yang sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam. Dalam menganalisis masalah ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika guna mempertahankan keimanan.
2.  Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.[5] Manusia berhak menentukan dirinya kafir atau mukmin sehingga mereka harus bertanggung jawab pada dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan manusia.
3.  Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang dilakukan manusia tidak ada gunanya.
4.    Asy’ariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan tengah antara Qodariyah dan Jabariyah. Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi, Tuhanlah yang menentukan hasilnya.

D.    Konsep Ketuhanan Menurut Islam
Konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret).[6] Eksistensi atau keberadaan Allah disampaikan oleh Rasul melalui wahyu kepada manusia, tetapi yang diperoleh melalui proses pemikiran atau perenungan.
Informasi melalui wahyu tentang keimanan kepada Allah dapat dibawa dalam kutipan di bawah ini: Surat Al-Anbiya’ : 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadaNya, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
Sejak diutusnya Nabi Adam AS sampai Muhammad Saw Rasul terakhir. Ajaran Islam yang tAllah Swt wahyukan kepada para utusanNya adalah Tauhidullah atau monotheisine murni. Sedangkan lafadz kalimat tauhid itu adalah laa ilaha illa Allah. Ada perbedaan ajaran tentang Tuhan yang ada asalnya dari agama wahyu. Hal semacam itu disebabkan manusia mengubah ajaran tersebut. Dan hal seperti itu termasuk kebohongan yang besar (dhulmun’adhim).
Surat Al-Maidah : 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka Allah pasti mengharamkan baginya surga dan tempatnya adalah neraka”. Surat Al-Baqarah : 163 “ Dan Tuhamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang mutlak keesaannya. Lafadz Allah swt adalah isim jamid, personal nama, atau isim a’dham yang tidak dapat diterjemahkan, digantikan atau disejajarkan dengan yang lain. Seseorang yang telah mengaku Islam dan telah mengikrarkan kalimat Syahadat Laa ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) berate telah memiliki keyakinan yang benar, yaitu monoteisme murni/monoteisme mutlak. Sebagai konsekuensianya, ia harus menempatkan Allah Swt sebagai prioritas utama dalam setiap aktivitas kehidupan.

E.     Bukti Adanya Tuhan
a.       Keberadaan Alam semesta, sebagai bukti adanya Tuhan
Ismail Raj’I Al-Faruqi mengatakan prinsip dasar dalam Teologi Islam, yaitu Khalik dan makhluk. Khalik adalah pencipta, yakni Allah swt, hanya Dialah Tuhan yang kekal, abadi, dan transeden. Tidak selamanya mutlak Esa dan tidak bersekutu. Sedangkan makhluk adalah yang diciptakan, berdimensi ruang dan waktu, yaitu dunia, benda, tanaman, hewan, manusia, jin, malaikat langit dan bumi, surga dan neraka.
Adanya alam semesta organisasinya yang menakjubkan bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa rahasia-rahasianya yang unik, semuanya memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya. Setiap manusia normal akan percaya bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa alam ini juga ada. Jika kita percaya tentang eksistensinya alam, secara logika kita harus percaya tentang adanya penciptaan alam semesta. Pernyataan yang mengatakan “Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya khalik, adalah suatu pernyataan yang tidak benar”.
Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penciptanya, dan pencipta itu tiada lain adalah Tuhan. Dan Tuhan yang kita yakini sebagai pencipta alam semesta dan seluruh isinya ini adalah Allah Swt.

b.      Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Ada pendapat dikalangan ilmuwan bahwa alam ini azali. Dalam pengertian lain alam ini mencpitakan dirinya sendiri. Ini jelas tidak mungkin, karena bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Hukum ini dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas yang membuktikan bahwa adanya alam ini mungkin azali. Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas, sedangkan kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari  keadaan yang tidak panas berubah menjadi panas. Perubahan energi yang ada dengan energi yang tidak ada. Dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah bersifat azali. Jika alam ini azali sejak dahulu alam sudah kehilangan energi dan sesuai hukum tersebut tentu tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.

c.       Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit saperti banyaknya butiran pasir yang ada di pantai seluruh dunia. Benda ala yang dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dengan bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edaranya selama 20 hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar dari porosnya dengan kecepatan 1000 mil perjam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Dan sembilan planet tata surya termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan yang luar biasa. Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama dengan planet-planet dan asteroid-asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.00 mil perjam. Disamping itu masih ada ribuan sistem selain sistem tata surya kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti. Berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya. Bahkan akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya itu pasti ada kekuatan yang maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu, kekuatan maha besar itu adalah Tuhan.

d.      Argumentasi Qur’ani
Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat Al-Fatihah ayat 2 yang terjemahya “Seluruh puja dan puji hanalah milik Allah Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang dimaksud adalah Allah Swt. Allah Swt sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam surat Al-A’la ayat 2-3, yang terjemahannya “Allah yang menciptakan dan menyempurnakan, yang menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan memberi petunjuk”. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa Allah Swt yang menciptakan ciptaannya, yaitu alam semesta, menyempurnakan, menentukan aturan-aturan dan memberi petunjukterhadap ciptaannya. Jadi, adanya alam semesta dan seisinya tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, ada yang menciptakan dan mengatur yaitu Allah Swt.
Didalam surat Al-A’raf ayat 54, termaktub yang “Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”. Lafadz Ayyam adalah jamak dari yaum yang berarti periode. Jadi, sittati ayyam berarti  enam periode dan tentunya membutuhkan proses waktu yang sangat panjang.
Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal berfirman Kun Fayakun yang artinya jadilah maka jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan Allah berbeda sampai kepada manusia membutuhkan waktu enam periode. Hal ini agar manusia dapat meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga muncul atau lahir berbagai macam ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka

Abdurrahim, dkk, Kuliah Tauhid, Yayasan Sari Intan, Jakarta, 1989.
Agung, Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/ konsep-ketuhanan-dalam-islam/, 01 Oktober 2013, Pukul 20.03 WIB.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 20.42 WIB.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, PT. Raja Grofinda Bersada, Jakarta.
Makalah ini ditulis oleh : Nur Istiqomah Al-Rasyid
  


[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45.
[2]Agung, Konsep Ketuhanan Dalam Islam, http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/ konsep-ketuhanan-dalam-islam/, 01 Oktober 2013, Pukul 20.03 WIB.
[3] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam, PT. Raja Grofinda Bersada, Jakarta, Hlm. 129-130.
[4] Abdurrahim, dkk, Kuliah Tauhid, Yayasan Sari Intan, Jakarta, 1989, Hlm. 103.
[5]Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 20.42 WIB.
[6]Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam, http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 21.24 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ORGANISASI PENDIDIKAN : JENIS DAN STRATEGI PENGUATAN

IPTEK dan Seni Dalam Pandangan Islam