Kata politik berasal
dati Bahasa latin politicos atau politicus yang
bararti relating tocilizen (berhubungan warga Negara),
keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Dalam
bahasa arab, politik biasa diterjemahkan dengan kata siyasah, kata ini
diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan
mengemudi, mengendalikan dan mengatur jadi bisa dikatakan politik adalah
mengurus yang bertujuan untuk mengatur seseorang.
Kata Negara, dalam bahasa inggris yang berarti state, atau stato dalam
bahasa Italia dan etat dalam bahasa Perancis. Menurut
Webster’s Dictionary, Negara adalah “ sejumlah orang yang mendiami suatu
wilayah secara permanen dan diorganisasikan secara politik dibawah satu
pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari penguasaan
luar, serta memiliki kekuasaan pemaksa demi mempertahankan keteraturan dalam
masyarakat” dengan demikian dapat dikatakan ujuan pendirian Negara adalah
untuk memelihara dan memaksakan hokum dan ketertiban dalam masyarakat.
Politik islam, secara subtansial, merupakan pengahadan Islam dengan kekuasaab
dan Negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political
behavior) serta budaya politik (political culture) yang
berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap, suatu keprihatinan moral dan
doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam (Tim Dosen PAI UM, 2011:
266). Sekurang kurangnya ada lima kerangka konseptual yang dapat diginakan
untuk memahami politik. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga Negara
dalam membicarakan dan mewujudkan kebakan bersama. Kedua, politik sebagai
segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaran Negara dan pemerintah. Ketiga,
politik sebagai segala egiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan
dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Kelima, politik sebagai konflik
dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting (Tim Dosen PPA UB, 2012: 224)
Prinsip-prinsip dasar politik Islam
1.
Keistimewaan
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
2.
Keharusan
bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah.
3.
Keharusan menunaikan
amanat dan menetapkan hokum secara adil.
4.
Kemestian menaati
Allah dan ulil Amr (pemegang kekuasaan).
5.
Kemestian mendamaikan
konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam.
6.
Kemestian
mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan agresi dan invasi.
7.
Kemestian mementingkan
perdamaian daripada permusuhan.
8.
Keharusan meningkatkan
kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan.
9.
Keharusan menepati
janji.
10.
Keharusan mengutamakan
perdamaian di antara bangsa-bangsa.
Ada
tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas. Pertama,
azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain).
Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas
kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada
pihak-pihak yang kurang beruntung. Sebagai contoh kita dapat melihat banyak
masyarakat yang kurang beruntung dalam hal pendidikan, kesejahteraan sosial,
dan masih banyal lagi.
Secara kejiwaan,
empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati
dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun
material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan. Dalam politik
terutama sebelum pemilihan berlangsung tidak sedikit para orang-orang yang
mencalonkan diri sebagai kandidatt untuk menduduki salah satu kursi entah di
DPRD dan DPR selalu memasang badan terlebih dahulu kepada masyarakat-masyarakat
agar disaat pemilihan masyarakat memilih nya dan dapat terealisasi keinginannya
untuk menjadi salah satu bagian penting dalam pemerintahan.
Kedua, harishun
alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam
bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang
mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara
lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju
cita-cita dan harapan itu. Dari pengertian diatas dapat dilihat bagaimana
harapan yang diinginkan oleh pemimpin dan masyarakat diharapkan sesuai atau
selaras antara keinginan dan realisasi dari semua itu namun sekarang sangat
sedikit pemimpin yang benar-benar mengutamakan keinginan masyarakat agar damai
sejahtera dan tentram sehingga masyarakat jenuh dan bosan dengan janji-janji
yang diberikan para pemimpin.
Ketiga, raufun rahim
(pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang
beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan
mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa
kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang
yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.” Perhatian
para pemimpin kepada masyarakat hanya sebagian kecil dari usaha mereka dalam
mensejahterakan masyarakat. Pemimpin bersikap acuh bersikap tak tau apa yang
terjadi di masyarakat dan akhirnya harapan masyarakat tidak sesuai dengan yang didapatkan
oleh mereka.
Nabi saw juga
menegaskan, seseorang dilarang keras meminta-minta jabatan. Rasulullah Saw
berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu
maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa
ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ada
sebuah contoh bagaimana jabatan itu tidak diminta tetapi memang karena orang
yang memilih jabatan itu dipang oleh beliau sehingga ada hal yang sangat jelas
nampak ketika seorang yang meminta jabatan dan diberikan tanggung jawab jabatan
dari bukan keinginannya.
Imam Ali menegaskan,
pemimpin itu harus bisa melihat dengan mata rakyat, harus mengerti bahasa
rakyat dan merasakan perasaan rakyat. Memajukan kemakmuran rakyat adalah tugas
setiap pemimpin."Disamping itu, seorang pemimpin harus mampu bergaul
dengan rakyat. "Pergaulilah manusia dengan pergaulan yang apabila kamu
meninggal dunia mereka menangisimu dan jika kamu hidup mereka menyayangimu”
(Imam Ali RA).
Jika seorang pemimpin
telah melaksanakan amanah kepemimpinan sesuai dengan moral Islam tersebut, maka
Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk taat kepada mereka.
"Barang siapa yang taat padaku (Nabi) maka ia taat pada Allah. Barangsiapa
yang tidak patuh padaku maka ia tidak taat pada Allah. Barangsiapa yang taat
kepada Amir (pemimpin) maka sesungguhnya ia taat padaku. Dan barangsiapa yang
tidak taat pada Amir maka ia tidak taat padaku." (HR. Muslim).
Namun realita yang
terjadi saat ini, pemimpin malah hidup dalam keadaan menipu rakyat. Dia
menasehati rakyat diatas mimbar, tetapi setelah turun dari mimbar itu malah dia
mengkhianati rakyatnya sendiri. Kondisi ini telah pula diperingatkan Rasulullah
saw, "Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas
mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah
turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk
dari bangkai." (HR. Ath-Thabran).
Tidak ada ketaatan
terhadap pemimpin yang menipu rakyat, yang kebijakannya tak sesuai dengan hati
nurani rakyat, sehingga acap kali dicela dan dicaci rakyat. Hal tersebut dapat
dijadikan cermin bagaimana carut marutnya politik yang terjadi di Negara ini.
Nabi SAW pun melarang kita untuk mentaati perintah pemimpin yang mengandung
maksiat kepada Allah SWT. "Tidak boleh seseorang itu taat terhadap
perintah bermaksiat pada Allah, sesungguhnya taat itu hanyalah dalam
kebaikan." (HR. Muslim). Wallahualam bishahawab.
Dari pemahaman dan
penjelasan-penjelasan yang diuraikan diatas banyak sekali pandangan politik
dari berbagai sudut Islam dan dari kacamata politik itu sendiri. Memang tidak
munafik bila para pemimpin sekarang tidak bahakan jarang memperhatikan rakyat
secara langsung baik dengan memperhatikan lingkungannya dengan meluangkan waktu
untuk menjenguknya, para pemimpin begitu sibuk sendiri. Bagaimana masyarakat
bisa percaya bisa meyakinkan diri kalau pemimpin itu benar-benar membawa
aspirasi rakyat secara keseluruhan. Seharusnya orang yang mencalonkan diri
sebagai pemimpin harus benar-benar berasal dari latar belakang politik kemudian
maju mencalonkan diri bukan karena keinginannya melainkan dari orang yang
menyuruh untuk menduduki jabatan tersebut sehingga dapat benar-benar mengetahui
seluk beluk politik itu dan bisa benar-benar dapat menjadi aspirasi
masyarakatagar kedepannya politik bisa menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang.
2011 Akulturasi Peandidikan Islam: Respon Terhadap Problematika
Kontenporer. Malang.
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Brawijaya.
2012 Buku dasar Pendidikan Agama Islam. Malang.
http://www.sumbaronline.com/berita-10123-politik-dan-pemimpin-dalam-perspektif-islam-.html
http://www.slideshare.net/herdiantara/kedudukan-sistem-politik-dalam-islam
http://bagusarifcandra.blogspot.co.id/2013/04/politik-dalam-pandangan-islam.html
Comments
Post a Comment