
Tak jarang
anak yang lahir diluar nikah mendapat julukan mengerikan dari masyarakat yakni
“anak haram”. Lalu dosa apa anak yang lahir dari hubungan terlarang, mengapa
anak yang menjadi korban? Kedua orang tuanya melakukan perbuatan terlarang dan
dosa. Tapi sejatinya Anak yang terlahir diluar nikah tak membuat status anak
disisi Allah berubah. Sebab anak yang terlahir didunia ini tidak menanggung
beban kedua orang tuanya, dia terlahir sesuai fitrahnya. Rasulullah SAW
bersabda “ setiap yang dilahirkan terlahir diatas fitrah, maka kedua ibu
bapaknyalah yang menjadikannya sebagai yahudi, dan menjadikannya sebagai
nasrani atau majusi” (HR. Bukhori). Kalimat terlair diatas fitrah dalam hadist
ini dimaknai Imam Bukhori dalam syarah Shohih Muslim adalah bahwa setiap anak
yang baru lahir siap menerima islam. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan bayi
yang terlahir dari hubungan diluar nikah dan dari pernikahan halal. Keduanya
adalah hamba Allah yang ketika ‘akil baligh wajib menjalankan syari’at islam.
Islam
melarang hubungan diluar nikah. Larangan ini ditetapkan berbeda dengan dosa
lain seperti membunuh, mabuk, mencuri yang larangannya ditetapkan langsung ke
objek perbuatannya. Sedangkan larangan diluar nikah Allah melarangnya dengan
kata yang tidak langsung ke objeknya, yaitu dengan cara melarang dengan
mendekatinya. Secara logika mendekatinya saja sudah dosa apalagi melakukannya.
Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar perbuatan ini tidak dilakukan karna
sudah barang tentu jika terjadi akan mengakibatkan lahirnya anak diluar nikah.
Terlahirnya anak diluar nikah bukan kehendak dan kemauan anak. Jika ditelusuri
lebih lanjut siapakah yang bertanggung jawab jelaslah ibu dan bapak kandungnya
sehingga anak diluar nikah tidaklah menanggung dosa dari perbuatan zina yang dilakukan
oleh kedua orangtuanya dan berarti bahwa islam tidak berlaku dosa keturunan.
Kasus
kelahiran yang terjadi diluar nikah banyak sekali terjadi di masyarakat, kasus
semacam ini seringkali disikapi dengan pertanggung jawaban pihak laki-laki
sehingga pihak perempuan secara langsung meminta pertanggung jawaban kepihak
laki-laki untuk dilakukan pernikahan terkadang juga laki-laki yang menodainya
atau pria yang lain dengan pertimbangan agar anak dalam kandungan memiliki
bapak saat dilakukan.
Menurut
mayoritas ulama fiqih, wanita yang hamil diluar nikah boleh menikah dengan
laki-laki yang mekukan perbuatan itu, akan tetapi kebolehan ini terikat oleh
dua syarat:
1.
Kedua calon mempelai
itu harus terlebih dahulu melakukan taubat, menyesali perbuatan yang telah
dilakukannya, tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi dan menjauhinya dan
apabila tidak taubat maka tidak sah nikahnya. Pendapat ini di tentang oleh Imam
Syafi’i bahwa beliau beranggapan taubat bukanlah syarat sah tidaknya sebuah
pernikahan. Namun lebih baik untuk berhati-hati sehingga sepasang mempelai
untuk taubat terlebih dahulu.
2.
Setelah pasangan
mempelai ini menikah, maka wanita yang hamil tersebut harus terlebih dahulu
melakukan istibra yaitu memastikan rahimnya bersih dari janin, ini bisa dilakukan
dengan cara menunggu datangnya haid atau menunggu sampai melahirkan.
Jika dua hal diatas
sudah dilakukan maka pasangan tersebut boleh bisa berhubungan sebagaimana suami
isteri. Sebagaimana nabi bersabda “ wanita yang tengah hamil yidak boleh disetubuhi
sampai ia melahirkan dan tidak boleh disetubuhi sampai ia haid” (HR. Abu dawud).
Lalu bagai mana dengan
nasan anak diluar nikah?. Nasab merupakan
hal yang penting bagi manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda “Siapa saja
yang menghubungkan nasabnya kepada selain bapaknya sendiri, padahal ia
mengetahui (itu bukan bapaknya), maka surga haram hukumnya.” (HR. Bukhori). Atas dasar inilah
maka dosa besar jika seorang anak menisbatkan dirinya atau menghubungkan
darahnya kepada selain bapak kandungnya. Hal ini menggambarkan betapa tegasnya
syari’at dalam persoalan nasab seseorang. Bahkan menjaga nasab merupakan salah
satu perhatian dalam islam.
Nasab anak yang lahir
diluar nikah tetap memiliki garis nasabnya sendiri, namun yang menjadi masalah
ialah kepada siapakah anak ini dihubungkan atau dinasabkan. Apakah kepada ayah
biologisnya atau kepada ibu?. Empat madzhab dalam islam yakni Syafi’i, Maliki,
Hanafi, dan Hambali menyepakati bahwa anak yang lahir dari hubungan diluar
nikah nasabnya dinisbatkan kepada ibunya bukan kepada bapaknya (biologis maupun
tidak). Dalam hadist nabi Muhammad SAW bersabda “ Anak dari hasil zina adalah
untuk keluarga ibunya” (HR. Abu Dawud).
Mayoritas ulama madzhab
juga merujuk hadits lain sebagai penguat yakni “ Anak itu untuk pemilik
ranjang, sedangkan pezina tercegah baginya hak anak” (HR. Bukhori). Berdasarkan
hadits tersebut Imam Nawawi berpendapat bahwa apabila seseorang mempunyai istri
yang sah maka istri menjadi ranjang suami, apabila terjadi kelahiran dalam
batas waktu yang memungkinkan untuk memiliki anak atau sekitar enam bulan dari
awal pernikahan maka anak itu dihubungkan ke pemilik ranjang yaitu suaminya.
Sedangkan nasab anak diluar nikah seharusnya menjadi tanggapan serius karena
akan berdampak pada masalah-masalah lain, misalnya anak diluar nikah tidak akan
mendapat warisan dari bapaknya yang menodai ibunya diluar nikah dan demikian
pula sebaliknya yaitu bapak dari anak diluar nikah tidak mendapat warisan dari
anak dari anaknya.
Ketika anak diluar
nikah tersebut dewasa dan tiba waktunya untuk menikah maka ia tidak mendapatkan
wali nikah dari bapak biologisnya dan tidak juga dari pihak ibunya. Para ulama
berbicara masalah ini bahwa anak yang lahir diluar nikah mendapat masalah hak masalah
warisan hanya dari ibunya tapi tidak mendapat hak dalam perwalian dan hal
seperti ini menunjukkan bahwa anak diluar nikah tidak ada hubungan apa-apa
dengan bapak biologisnya sendiri. Sehingga para ulama sepakat bahwa yang
menjadi walinya ialah dalam hal ini yakni pemerintah atau di Indonesia biasanya
di wakilkan oleh KUA.
Lalu bagaimanakah dalam
hukum perdata yang ada di indonesia. Menurut UU perkawinan terdapat 5 jenis
anak yakni :
1. Anak
sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
2. Anak
angkat, tertuang dalam UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sseorang
boleh mengangkat anak untuk kepentingan terbaik anak sesuai dengan kebiasaan
setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Anak
luar kawin/nikah, yaitu anak yang dilahirkan bukan dari sebuah perkawinan yang
sah. Anak luar kawin dapat di bedakan menjadi anak luar kawin yang diakui dan
tidak diakui. Anak luar kawin yang dapat diakui sahnya badalah hubungan
laki-laki dan perempuan yang belum kawin
atau tidak sedarah.
4. Anak
sumbang dan anak zina, anak zina alah anak yang dilahirkan dari hubungan luar
nikah seseorang laki-laki dan perempuan dimana salah satu diantara keduanya
terikat perkawinan dengan orang lain.
5. Anak
asuh, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang, lembaga untuk diberikan bimbingan,
perawatan, kesehatan dan pendidikan karena orang tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang anak secara wajar.
Dari pembagian lima
jenis anak diatas anak di luar nikah masuk pada kategori anak luar kawin. Pencatatan
perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan nikah dari KUA untuk mereka yang
beragama islam. Jadi jika perkawinan tidak tercatat di KUA dan kantor catatan
sipil, maka perkawian tersebut tidak sah menurut hukum negara. Sehingga anak
yang lahir itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Hal ini
bermasalah bagi anak karena bukan tergolong sebagai anak sah yang dimata hukum
karena hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Anak luar nikah tidak akan
memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya.
menurut Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 46/PUU/IX/2011 yang merubah pasal 43 ayat (1)
undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan diluar nikah dari
bunyi asal “ anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya” menjadi “ anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya”.
Anak luar nikah dapat
memperoleh hubungan perdata dengan ayahnya dengan cara memberi pengakuan
terhadap anak luar nikah. Menurut pasal 280 dan pasal 281 KUHP menegaskan bahwa
dengan pengakuan terhadap anak diluar nikah terlahirlah hubungan perdata antara
anak itu. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa status keperdataan anak
diluar nikah ialah mengikuti ibu (akta kelahiran dan status dalam negara) akan
tetapi bapak biologis juga berkewajiban bertanggung jawab atas anaknya
tersebuut.
Wallahu a’lam.
By : Abdul Aziz Toyib
Comments
Post a Comment