Pendahuluan
Wanita
merupakan bagian terbesar dari masyarakat secara umum, sehingga secara umum
juga menentukan keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi, walau wanita merupakan
bagian terbasar dari masyarakat secara umum, terdapat suatu kecenderungan yang
bersifat bias gender, yaitu menganggap suatu pekerjaan hanya baik jika
dikerjakan laki-laki. Kecenderungan masyarakat akan mengutamakan kaum laki-laki
inilah yang mendorong timbulnya emansipasi wanita.
Emansipasi
wanita, atau yang dikenal juga dengan feminisme, suatu pandangan yang menuntut
kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan belakangan ini kian meningkat
jumlahnya. Pada Desember 2011, Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan
Undang-Undang Kesetaran dan Keadilan Gender (KKG). RUU tentang Kesetaran dan
Keadilan Gender ini merupakan respons terhadap berbagai kebijakan tetanng
pengarusutamaan gender, terutama UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(CEDAW). Penerapan UU tersebut dianggap belum mengakomodasi kebutuhan
perempuan, padahal diskriminasi terhadap perempuan masih terasa di berbagai
bidang (Antara, Desember 2011). RUU ini juga merespons pelaksanaan Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs). Salah satu komitmen MDGs adalah mendorong
tercapainya kesetaraan dan keadlian gender serata pemberdayaan perempuan yang
sasarannya tercapai pada 2015 (Kompas, April 2011).
Penduduk
Muslim di Indonesia adalah 81.5% dari populasi atau setara dengan 240.271.522
jiwa (CIA, 2009). Dengan gencarnya gerakan-gerakan pro-feminisme sekarang,
timbul lah berbagai pertanyaan yang terkait akan peraturan yang berlaku di
Agama Islam –agama dengan pemeluk terbanyak di Indonesia– antara lain: 1)
Pengertian Emansipasi Wanita secara Umum, 2) Sejarah Emansipasi Wanita, 3)
Emansipasi Wanita Menurut Islam, 4) Hak-Hak Wanita dalam Islam.
A. Pengertian Emansipasi Wanita
Menurut Cambridge Dictionary
Online: English Dictionary and Thesaurus (2011), pengertian feminism atau
feminisme –yang juga dikenal sebagai pandangan emansipasi wanita– adalah sebuah
pergerakan kolektif yang bertujuan untuk mendefinisikan, membangun, dan
mempertahankan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial yang setara bagi wanita.
Sebagai tambahan, feminism juga mencari dan menegakkan kesempatan wanita dalam
pendidikan dan pekerjaan yang setara.
Teori feminis, yang muncul akibat
pergerakan dari kaum feminis (kaum yang mendukung kesetaraan gender atau
emansipasi wanita), bertujuan untuk memahami karakteristik ketidaksamaan gender
dengan memeriksa peran-peran sosial wanita dan pengalaman hidup wanita.
Teori-teori ini telah berkembang diberbagai disiplin ilmu guna merespon
terhadap isu-isu seperti tatanan sosial yang berhubungan dengan gender
(Chodorow, 1989).
Kampanye-kampanye yang dilakukan
aktivis feminis –seperti kampanye dalam hukum, perdata dan pemilihan- juga akan
mempromosikan tentang kesamaan gender tentang kebebasan berotonomi dan
kebebasan menggunakan tubuh bagi wanita. Kampanye-kampanye feminis sangat
mempengaruhi masyarakat, terutama di belahan bumi bagian barat, yaitu dengan
berhasilnya kampanye Women’s Suffrage (kampanye yang mempromosikan hak wanita
untuk bekerja dan memilih dalam pemilihan), netralitas gender di Inggris, gaji
dan honor yang setara, dan kebebbasan menggunakan tubuh bagi wanita (didalamnya
termasuk kebebasan menggunakan kontrasepsi dan melakukan aborsi), dan juga hak
untuk memasuki kontrak kerja dan memiliki properti sendiri (Butler, 1992). Lebih lagi para feminis juga berhasil
memproteksi wanita dari kekerasan domestik, pelecehan seksual dan penyerangan
seksual (Echols, 1989). Selain itu mereka juga berhasil mengesahkan hak seperti
Maternity Leave (jam kerja yang disisihkan untuk keperluan mengurus anak)
secara hukum (Price dan Shildrick, 1999).
B. Sejarah Emansipasi Wanita
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan (Zaman Renaisans)
di Eropa yang dipelopori oleh Lady mary Worley Montagu dan Marquis de Condorce
(Hale, 1994). Setelah Revolusi Amerika pada 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792
berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki
dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas,
menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan
pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah,
kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785,
perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
Middelburg, sebuah kota diselatan Belanda.
Kata
feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier
pada 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan
berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill The Subjection of Women pada
tahun 1896. Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama
(Hadiwijono, 1983). Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum feminis merasa
dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum maskulin dalam bidang
sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik khususnya –terutama dalam masyarakat
yang bersifat patriaki-. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi
agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah,
sementara perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan
ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di
abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan seluruh dunia.
Di
Indonesia sendiri emansipasi wanita yang sangat terkenal adalah yang dilakukan
Raden Adjeng Kartini. Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang dari kalangan
priyayi, atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, yang merupakan
seorang guru agama. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang de Locomotief
yang diasuh Pieter Brooshooft, dan ia juga menerima lestrommel (paket majalah
yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah
kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita
Belanda de Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan
tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak
Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kartini melihat
perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan ,otonom dan persamaan hukum sebagai
bagian dari gerakan yang lebih luas. Diantara buku yang dibaca Kartini sebelum
berumur 20, terapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli,
yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht karya
Louis Coperus. Oleh orangutanya, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang,
K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mengerti keinginan
Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di
sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat
kegigihannya, didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada
1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah
lainnya (Toer, 2011).
C. Pengertian Emansipasi Menurut
Pandangan Islam
Jauh
sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat
derajat wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemuliaan
wanita. Dari ayat di atas kita bisa melihat betapa Islam tidak membedakan
antara wanita dan laki-laki. Semua sama di hadapan Allah SWT, dan yang
membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa
dalam artian menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Mari kita meneropong kebelakang. Pada awal-awal berdirinya Islam telah banyak
wanita-wanita yang berjaya, mereka adalah Aisyah binti Abu Bakar(wafat 58 H),
Hafsah bintiUmar (wafat 45 H), Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56
H), Khadijah bintiKhuwailid (wafat 3 SH), Maimunah binti Harits (wafat 50 H/670
M), Ummu Salamah (wafat 57H/676 M), Zainab binti Jahsy (wafat 20 H), Fatimah
binti Muhammad (wafat 11 H), Ummi Kultsum binti Muhammad (wafat 9 H/639 M),
Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) dan lain sebagainya. Merekalah yang telah
memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk keberlangsungan emansipasi
wanita, bukan saja hak yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang
wanita, istri,anak atau sahabat mereka ukir dengan begitu mulianya.
Tidak
diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun
dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan
penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya.
Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah
rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan
kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan.
Hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan
hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan.
Sedangkan dalam islam kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi dan memiliki
hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah
penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya (yang artinya): “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(Al-Baqarah:286).
Islam
juga telah mengabadikan nama wanita yang dalam bahasa Arab An-nisa kedalam
salah satu surat dalam Al-quran, dan islam juga tidak melarang wanita untuk
berperang atau berjihad di jalan Allah SWT melawan orang-orang kafir, dalam
hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’
binti Mu’awwidz ra berkata : ”Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan,
kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yang
terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.” Ummu Haram ra, yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra , dimana ia berkata: Nabi Muhammad SAW
bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan
mujahid fi sabilillah. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di
atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya Rasulullah,
doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam islam memang ada yang disebut emansipasi wanita dari zaman jahiliah
dimana wanita diperlakukan buruk hingga ditinggikan kedudukannya dalam islam.
Lantas,
bagaimana sebenarnya pandangan islam tentang emansipasi wanita itu sendiri? Persamaan
hak untuk dilindungi oleh hukum, mendapatkan gaji yang setara dengan laki laki
jika berada di kedudukan atau kemampuan yang sama, dan lain sebagainya adalah
segelintir contoh dibolehkannya persamaan hak dengan kaum pria. Makna
emansipasi wanita yang benar, adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak
memilih dan menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan Islam wanita yang baik
adalah wanita yang seoptimal mungkin menurut konsep al-quran dan assunnah.
Ialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya sebagai :
1.
Seorang hamba Allah ( At-Taubah 71 )
2.
Seorang istri ( An-Nisa 34)
3.
Seorang ibu ( Al-Baqoroh 233 )
4.
Warga masyarakat (Al-furqan 33)
5.
Da’iyah ( Ali Imran104 -110)
D. Hak-Hak Wanita Menurut Pandangan
Islam
Al-Quran
berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut
menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh
perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan. Secara umum surah Al-Nisa' ayat
32, menunjuk kepada hak-hak perempuan: lelaki
hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak
(bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.
Berikut
ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut
pandangan ajaran Islam.
a.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah
satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan
dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah
ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang
ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara
umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja
sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan
dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata
awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan,
sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang
ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk
memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan
perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai
bidang kehidupan.193
Keikutsertaan
perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat
disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari
kandungan sabda Nabi Muhamad saw.: Barangsiapa yang tidak memperhatikan
kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.
Kepentingan
(urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas
sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya.
Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang
kehidupan politik. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu
melakukannya. Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38). Ayat
ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak
berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura
(musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang
kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti
setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa
mengadakan musyawarah.
Atas
dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak
tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami
sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat
--termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan
betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa
kecuali.
Al-Quran
juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan
bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam
surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara,
pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan
perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan
kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai
pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat,
bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Harus
diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah
Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai
bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata
mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik
perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak
sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan
makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu.
Ayat
Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami)
terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan
ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak
pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan
suami.
Kenyataan
sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam
soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi
Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan
'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu
terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya
Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan
itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan
Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam
peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut
paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
b.
Hak-hak Perempuan dalam Memilih
Pekerjaan
Kalau
kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal
Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka
aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama
orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat
memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Secara singkat, dapat
dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan
mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau
selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan
dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka
ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam
peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu
Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah,
dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan
Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan
Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di
samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai
bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim
binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay196 --istri Nabi
Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam
bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid,
tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani
Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi
untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat
Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain
pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi
petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya: Apabila Anda akan membeli atau
menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau
menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri
Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi
Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa', seorang
perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai
petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau
menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw.
banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda: Sebaik-baik "permainan"
seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis
diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari). Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat
pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki."
Tentu
saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah
ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada
akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama
ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma
agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk
kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan
tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat
diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma)
dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap
orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya
kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar
kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab
fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam
berbagai bidang.
c.
Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu
banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban
belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan.
Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Bacalah demi
Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para
malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki
pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik
lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin,
mereka semua dituntut untuk belajar: Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap
Muslim (dan Muslimah).
Para
perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka
memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus
untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja
dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal
tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak
terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti
dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah
Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa: Maka
Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini
berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian
mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang
mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya
berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami
bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan
kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak
wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi,
Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula
sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang
dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah). Demikian juga
Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah
Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah
seorang guru Imam Syafi' (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi
anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam
Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab
tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara
Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan
Abdul-Latif Al-Baghdadi. Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan
ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan
lain-lain.
Rasul
saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap
perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi
juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu,
sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqarri,
dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi,
memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada
akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya
dalam bidang ini.
Harus
diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan
seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut
namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun
pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam
hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan
mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya
kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga,
pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan
yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih
banyak daripada soal-soal keagamaan."
Demikian
sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan. Tentunya
masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan
dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa
mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara
sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi
dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin
itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain,
karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi
perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan
bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu (QS 4:32). Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Simpulan
Makna
emansipasi wanita menurut pandangan islam adalah perjuangan kaum wanita demi
memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Emansipasi tidak sekedar
persamaan hak dan kewajiban dengan kaum pria dalam arti sempit, tetapi juga
harus ada batas-batas yang tetap harus diikuti dan disetujui oleh fitrah wanita
itu sendiri. Apabila fitarh itu dilanggar, akan mengakibatkan kehancuran
islam, karena wanita adalah tiang agama.
Pada
hakikatnya, emansipasi wanita dibenarkan dalam pandangan islam sejauh tidak
melanggar batas-batas- yang ditentukan. Akan tetapi, wanita masa kini harus menyiapkan dan meningkatkan kualitas
keislaman agar tidak terpengaruh dengan slogan-slogan barat yang akan
menghancurkan pilar-pilar islam.
di Ambil dari : http://windaputry.blogspot.com/2012/03/emansipasi-wanita-menurut-islam.html
DAFTAR
PUSTAKA
Butler,
Judith. 1992. Feminism in Any Other Name. Differences 6: 30. Cambridge.
Cambridge Dictionary Online: Free English Dictionary and Thesaurus – Feminism
noun. Dictionary.cambridge.org. Diakses 12 Maret 2012.
Chodorow,
Nancy. 1989. Feminism and Psychoanalytic Theory. New Have, Conn.: Yale
University Press
CIA.
2009. The World Factbook – Indonesia.
Echols,
Alice. 1989. Daring to Be Bad: Radical Feminism in America, 1967-1975.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Hadiwijono,
Harun. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Hale,
John. 1994. The Civiliazation of Europe in the Renaissance.
Ingrid:
Ciptakan Kesamaan Gender. Koran Antara, Kamis 8 Desember 2011.
Mencari
Keadilan dan Kesetaraan. Koran KOMPAS, Jumat 1 April 2011.
Price,
Janet., Shildrick Margrit. 1999. Feminist Theory and the Body: A Reader. New
York: Routledge
Toer,
Pramoedya Ananta. 2011. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera.
Comments
Post a Comment