Strategi dan Perencanaan Pengembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

  A.       Strategi Pengembangan Keagamaan Pada PAUD 1.        Menanamkan Rasa Cinta Kepada Allah SWT Diantara cara membimbing anak menuju akidah yang benar adalah dengan mendidik mereka untuk mencintai Allah. Pendidikan ini harus diberikan sejak   ini. Pada saat tersebut, mulailah mereka diperkenalkan kepada makhluk-makhluk Allah (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) yang terdekat disekitar mereka.   Selain itu, juga perlu diupayakan adanya keterikatan antara mereka dengan yang   telah menciptakannya, pemilik keagungan, pemberi nikmat, dan maha dermawan.   Dengan bentuk seperti ini anak pasti akan mencintai Allah (Rajih, 2008: 87-88) Rasa cinta kepada Allah beserta seluruh ciptaannya dapat diperkenalkan pada anak usia dini melalui pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik tersebut akan mengenalkan akan pada makhluk ciptaan Allah sekaligus mengenalkan anak untuk mencintai ilmu pengetahuan dengan proses mengamati. Menciptakan rasa cinta kepada Allah juga diikuti oleh men

Konsep Perkembangan Moral Dan Keagamaan Pada Anak Usia Dini


Konsep Perkembangan Moral Dan Keagamaan Pada Anak Usia Dini

A.     Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Konsep perkembangan pendidikan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean Piaget ~ wakil Direktur Institute of Education Sciences dan Profesor Psikologi Eksperimental di Universitas of Geneve, yang dengan cara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap “Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral (Moral Judgement)~, beliau berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua ahli ini mencitacitakan adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Beberapa tahapan dalam perkembangan moral sebagai berikut:
a.      Pre~moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk mentaati peraturan.
b.   Heteronomous yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang harus menaati kekuasaan.
c.   Autonomous yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan.
Adapun Norman J.Bull (1996) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah :
a.      Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
b.    Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.
c.   Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
d. Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar,anak belum memiliki pengertian dan motivasi untuk konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya.Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
B.      Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Pertama-tama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma sosial. Dalam pengertian ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai seorang guru hendaknya memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial,sistem hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Bagaimana tahapan perkembangan moral menurut pandangan berbagai tokoh Psikologi? John Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap,yakni:
a.      Tahap pra-moral; ini ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan
b.      Tahap Konvensional; ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan
c.       Tahap Otonom; ini ditandai dengan berkembang nya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (timbal balik yang sama).
Sedangkan menurut Norman J. Bull terdapat empat tahap perkembangan moral yakni:
a.      Anatomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
b.      Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan,dan merasa perlu menaati kekuasaan.
c.       Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
d.      Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatan pada peraturan.
Sementara itu,Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif,juga memperkenalkan teori perkembangan moral. Piaget membagi perkembangan moral atas 3 tahap yaitu:
a.      Pre Moral (0 sampai dengan 5 tahun). Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan.
b.      Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun). Pada tahap perkembangan moral ini,anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan,orang tua dan guru, yang  tidak dapatdirubah,dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
c.       Autonomous Morality of Cooperation 9usia 10 tahun ke atas). Moral tumbuh melalui kesadaran,bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutnya,anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.
Menurut Piaget, pengalaman ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat flexible,merupakan kesepakatan sosial,yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas. Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, sehinggga melahirkan teori perkembangan moral. Melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, akhirnya dapat menyimpulkan tahap perkembangan moral individu. Tahap perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokan ke dalam tiga tingkatan: pra`konvensional,konvensional,dan pasca konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian,tidak ada suatu fungsi yang berasa dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlakukan,dan terintegrasi disbanding tahap sebelumnya.
Menurut Kohlberg (Crain,1992: Gunarsa; Miller; papilia,Old dan Feldman, 1998) ada beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya: pre~conventionalmarality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy moral principle.
Tingkat pra~konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,walaupun orng dewasa juga dapat menunjukan penalaran dalam tahap ini. Seseorng yang berada dalam tingkat pra~konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra~konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Ketika berada dalam suatu tekanan,maka individu akan menuruti suatu perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan ingin memperoleh suatu kaidah (reward).
Fase pertama, individu memiliki orientasi kepatuhan dan berusaha menghindari hukuman. Individu harus patuh pada otoritas (orang tua). Agar menghindari hukuman.Dalam hal ini, seorang individu belum memiliki kesadaran terhadap apa yang dilakukan. Kesadaran dan Pemahaman, nilai benarbenar salah, amat ditentukan oleh evaluasi penilaina orng lain (orang tua/orang dewasa).
Dengan demikian kepatuhan individu bersifat semu dan wajar, bila individu tidak akan patuh kalau bertindak tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam fase pertama ini, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebgai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Fase kedua, Relativis Instrumental/ relativistic/ hedonism/ resiprositas/ minat pribadi, yakni ada faktor pribadi yang bersifat relatif dan memiliki prinsip kesenangan.Anak akan mematuhi suatu aturan,kalau aturan tersebut membuat dirinya senang atau menguntungkan dirinya. Pada fase kedua ini menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminati . Penalaran tahap dua kurang menunjukan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri,seperti “kamu garuk punggungku,dan akan kugarung punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik. Kekuarangan persepektif tentang masyarakat dalam tingkat pra~konvensional,berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja.Bagi mereka dari tahap dua,perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Fase ketiga, orientasi mengenai anak yang baik, yakni agar menjadi anak yang baik,maka sikap dan perbuatan individu harus diterima oleh masyarakat. Mautidak mau, seorang anak harus patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Ketidakpatuhan hanya akan mendatangkan cemoohan dan caci maki dari orang lain, sehingga memalukan diri sendiri atau menjatuhkan harga diri. Dalam fase ini, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekwensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat,rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran, tahap ini ; ‘mereka bermaksud baik’.
Fase keempat, mempertahankan normaa - norma sosial. Individu menyadari kewajiban untuk ikut melaksanakan norma yang ada dan mempertahankan pentingnya norma tersebut. Oleh karena itu segala sikap dan tindakan dinilai dan diawasi oleh diri sendiri serta mengontrol tindakantindakan orang lain,agar sesuai dengan norma sosial. Dalam fase ini, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusaan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Fase kelima, orientasi terhadap perjanjian antar dirinya dengan lingkungan sosial. Individu mempunyai kesadaran dan keyakinan pribadi bahwa dengan berbuat baik, maka ia pun akan diperlukan dengan baik pula oleh orang lain. Dan keyakinan ini timbul dari hati nurani. Dalam fase ini individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapatpendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak . Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontak social dan bukannya keputusan kaku. Aturanaturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran fase lima.
Fase keenam, prinsip universal. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya norma-norma etika dalam dirinya, maka individu akan menyesuaikan sikap dan tindakannya agar sepadan dengan prinsip-prinsip kebenaran yang diakui secara global. Jadi melampaui batas-batas suku, bangsa,agama, dan jenis kelamin. Dalam fase ini, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hokum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain,yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikir sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi,sesuai harapan,legal,atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.Tampaknya orang sukar, kalupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini. (Mohamad Asrori,2008:158)

C.      Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak
Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya, selanjutnya, dalam interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai,moral dan sikap serta perilaku keagamaanDalam konteks ini lingkunan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkambangan nilai,moral,sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis,sosial,budaya dan fisik kebendaan,baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis,interkasi, pola kehidupan beragama, berbagi sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai,moral,sikap dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis,pola interaksi yang demokratis,pola asuh bina kasih,dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai luhur,moralitas tinggi,serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya,individu yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif,dan kurang religius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji menjadi diragukan. (Mohammad Asrori,2008:164-165)

D.     Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalu identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi mereka gambarangambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik,orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri. Syamsu Yusuf (2007: 133) Menyatakan bahwa : “Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama dari orang tuanya”. Dari pernyataan diatas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkkungan sekitarnya,utamanya keluarganya yang setiap hari berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan moral anak tergantung pada baik dan buruk moral keluarganya.
Agar perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik sebaiknya keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Konsisten dalam Mendidik
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Pada kenyataannya masih banyak kita jumpai orang tua yang tidak kompak dalam mendidik anaknya,hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan juga dipengaruhi rasa ego. Ketidakkompakan orang tua dalam mendidik anaknya berakibat kurang baik terhadap moral anak,biasanya mereka bingung membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada aturan bapak atau patuh pada aturan ibu, dan lain sebaginya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam memberikan didikan pada anak-anaknya.
2.      Sikap Orang tua dalam Keluarga
Sikap orang tua dalam keluarga secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan moral anak. Melalui proses peniruan (imitasi) mereka merekam sikap ayah pada ibu dan sebaliknya,sikap orang tua pada tetangga-teangga sekitarnya akan dengan mudah ditiru oleh anak. Sikap yang otoriter orang tua akan membuahkan sikap yang sama apada anak. Sebaliknya sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten, juga akan membuahkan sikap yang sama pada anak, oleh karenanya sebaiknya orang tua menberikan contoh (tauladan) moral yang baik pada anak-anaknya, agar dimasa yang kan datang anak-anaknya menjadi orang yang berguna.
3.      Penghayatan dan Pengamalan
Agama yang dianut Orang tua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan maupun contoh implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orang tua dalam menjalankan moral keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan moral keagamaan anak. Dengan perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak sudah barang tentu akan dipengaruhi terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada masa yang akan datang.
Disamping faktor pengaruh keluarga, faktor lingkungan masyarakat dan pergaulan anak juga mempengaruhi perkembangan moral keagamaan anak, pada perkembangannya terkadang anak lebih percaya kepada teman dekatnya dari pada pada orang tuanya,terkadang juga lebih mematuhi orang-orang yang dikaguminya seperti; gurunya,artis favoritnya, dan sebagainya. Keluarga dengan moral keagamaan yang baik dan lingkungan masyarakat yang baik, secara teoritis akan berpengaruh positif terhadap perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak.


DAFTAR PUSTAKA
Asrori, Muhammad, 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.

Yusuf, Syamsu. 2007.  Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: RajaGrafindo.

Yuningsih. 2014. Menguatkan kembali pendidikan keagamaan dan moral anak didik. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Comments

Popular posts from this blog

ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

ORGANISASI PENDIDIKAN : JENIS DAN STRATEGI PENGUATAN

IPTEK dan Seni Dalam Pandangan Islam